Sabtu, 16 Maret 2013

Pertumbuhan Bibit lamun


                                                                                                    I.     PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang

Lamun merupakan tumbuhan laut berbunga (Angiospermae) yang tumbuh dan berkembang dengan baik di lingkungan pantai (den Hartog, 1970). Tumbuhan ini memiliki banyak manfaat terhadap fungsi-fungsi biologis dan fisik di lingkungan pantai (Thayeret al. 1975; Thorhaug 1986, dalam Azkab, 1999).  Secara ekologi manfaat lamun sangat penting terhadap berbagai ekosistem di daerah pesisir.  Padang lamun dikenal sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari makan (feeding ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) bermacam biota laut (Bengen, 2004).
Meningkatnya aktivitas manusia di sekitar perairan laut dangkal atau di daerah pantai, seperti pengembangan budidaya dan kegiatan penangkapan ikan dengan peralatan yang merusak, menyebabkan menurunnya persentase penutupan areal padang lamun sehingga fungsinya juga menurun. Padahal salah satu saran untuk mengatasi atau mengurangi dampak dari pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim (climate change) yang disarankan oleh IUCN (The International Union for the Concervation of Nature) adalah dengan pemeliharaan ekosistem padang lamun dalam skala yang luas (Bjork et al, 2008; Tri PH, 2008). Untuk memperbaiki fungsi suatu ekosistem padang lamun, diawali dengan mengembalikan kondisi padang lamunnya. Restorasi merupakan salah satu strategi pengelolaan yang efektif dan berkelanjutan untuk membantu pemulihan kerusakan padang lamun. 
Kegiatan restorasi yang selama ini banyak dilakukan adalah dengan transplantasi vegetatif.  Upaya ini telah banyak dilakukan dengan metode dan jenis lamun yang berbeda.  Seperti yang dilakukan oleh Addy tahun 1947 pada jenis Zostera marina, Fuss dan Kelly tahun 1974 pada jenis Thalassia testudinum (Azkab, 1999), dan Halodule wrightii oleh Thorhaug (1974). Di Indonesia dilakukan pula transplantasi vegetatif pada beberapa jenis seperti Enhalus acoroides yang pernah dilakukan oleh Irwanto tahun 2010, Cymodocea rotundata dan Thalassia hemprichii oleh Azkab (1987,1988) (Tangke, 2010; Lanuru, 2011). Namun untuk restorasi dengan menggunakan metode transplantasi secara vegetatif dalam skala besar akan membutuhkan lamun donor dalam jumlah yang besar pula yang dapat berpengaruh negatif terhadap habitat lamun donor tersebut.
Di beberapa negara untuk menghindari resiko ini maka dilakukan kegiatan restorasi dengan menggunakan tumbuhan lamun yang berasal dari biji dengan jenis lamun yang berbeda. Seperti di daerah selatan Florida pada jenis Thalassia testudinum, Halodule wrigthii dan Ruppia maritima, dan dilakukan di Teluk Cam Ranh Vietnam pada jenis Zostera marina dan Enhalus acoroides (Tangke, 2010; Marion S.R, and Orth R.J, 2008; Tri P.H, 2008). Sedangkan di Indonesia upaya restorasi dengan menggunakan bibit (restorasi generatif) masih belum banyak dicoba. 
Di daerah tropis seperti di Indonesia, penyebaran Enhalus acoroides sangat luas. Hampir semua tipe substrat dapat ditumbuhi, Enhalus acoroides dapat di temukan di semua tipe substrat, misalnya substrat berlumpur, pasir, pasir pecahan karang sampai substrat berbatu yang selalu tergenang air (Kiswara, 1992 dalam Parada 2002; Bengen, 2004). Meskipun semua tipe substrat dapat ditumbuhi Enhalus acoroides, tingkat pertumbuhannya berbeda-beda. Seperti yang dilakukan oleh Badria (2007) di Teluk Banten menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan Enhalus acoroides berbeda berdasarkan tipe substratnya.
Berdasakan uraian tersebut di atas, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana pertumbuhan semaian lamun dari biji di laboratorium dengan menggunakan substrat yang berbeda, khususnya pada lamun jenis Enhalus acoroides.

B.   Tujuan dan Kegunaan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan substrat terhadap pertumbuhan bibit lamun Enhalus acoroides. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dasar untuk pihak terkait maupun masyarakat mengenai substrat terbaik untuk pembibitan lamun Enhalus acoroides dalam rangka penyediaan bibit lamun untuk kegiatan restorasi habitat dalam skala luas.

C.   Ruang Lingkup

Penelitian ini dibatasi pada beberapa parameter, yaitu:
1.    Substrat yang berbeda, yaitu pasir kuarsa (pasir daratan), pasir dari habitat alami dan rubble karang (pecahan karang).
2.    Pertumbuhan bibit lamun dari biji meliputi: panjang daun, lebar daun dan jumlah daun.
3.    Parameter kualitas air meliputi: suhu, salinitas, fosfat (PO4) dan nitrat (NO3).
4.    Kandungan nutrien dalam substrat yaitu nitrat (NO3) dan fosfat (PO4)


                                                                                            II.     TINJAUAN PUSTAKA

A.  Deskripsi Umum Lamun

Lamun adalah tumbuhan tingkat tinggi yang telah beradaptasi penuh untuk dapat hidup pada lingkungan laut.  Eksistensi lamun di laut merupakan hasil dari beberapa adaptasi yang dilakukan termasuk toleransi terhadap kadar garam yang tinggi, kemampuan untuk menancapkan akar di substrat sebagai jangkar, dan juga untuk tumbuh dan melakukan reproduksi pada saat terbenam (Coles R et al, 2004). Lamun juga tidak memiliki stomata, mempertahankan kutikel yang tipis, perkembangan shrizogenous pada sistem lakunar dan keberadaan diafragma pada sistem lakunar.  Salah satu hal yang paling penting dalam adaptasi reproduksi lamun adalah proses penyerbukannya yang dilakukan di bawah permukaan air  atau hydrophillous pollination (Tangke, 2010).
Tumbuhan lamun di dunia ini terdiri dari dua familia, 12 genera dengan 49 species.  Dari 12 genera tersebut, tujuh diantaranya tumbuh di daerah tropis yaitu  Enhalus, Thalassia, Halophila, Halodule, Cymodocea, Syringodium dan Thalassodendron.  Keanekaragaman tumbuhan lamun yang tertinggi didapatkan di daerah Indo Pasifik dengan tujuh genera.  Dari 25 jenis lamun yang hidup di daerah tropis, 12 diantaranya dapat dijumpai di Perairan Indonesia (den Hartog, 1970).  Di Kepulauan Spermonde terdapat tujuh dari 12 species lamun yang ada di Indonesia, yang salah satunya adalah species Enhalus acoroides
Secara umum semua tipe dasar laut dapat ditumbuhi lamun, namun padang lamun yang luas hanya dijumpai pada dasar laut berlumpur berpasir lunak dan tebal.  Padang lamun sering terdapat di perairan laut antara hutan rawa mangrove dan terumbu karang (Bengen, 2004).
Bentuk vegetatif lamun memperlihatkan karakter tingkat keseragaman yang tinggi.  Hampir semua genera memiliki rhizoma yang berkembang dengan baik serta bentuk daun yang memanjang (linear) atau berbentuk sangat panjang seperti ikat pinggang (belt), kecuali pada jenis Halophila yang memiliki daun bentuk lonjong dan bulat. Berbagai bentuk pertumbuhan tersebut mempunyai kaitan dengan perbedaan ekologi lamun (den Hartog, 1977). Misalnya Parvozosterid dan Halophilid dapat dijumpai pada hampir semua habitat, mulai dari pasir yang kasar sampai lumpur yang lunak, dari daerah dangkal sampai dalam, dari laut terbuka sampai estuaria. 
Pertumbuhan lamun dapat dilihat dari pertambahan bagian-bagian tertentu, seperti pertambahan jumlah daun, lebar daun, jumlah tegakan daun dan juga pertambahan rhizomanya (Brouns dan Hiejs, 1986).Tetapi pertumbuhan untuk bagian rhizoma akan lebih sulit diukur pada jenis-jenis tertentu karena umumnya rhizoma berada jauh di bawah permukaan substrat. Penelitian mengenai pertumbuhan lamun yang sering dilakukan lebih banyak mengacu pada pertumbuhan daun, mengingat daun lamun berada di atas permukaan substrat sehingga mudah diamati pertumbuhannya (Brouns dan Hiejs, 1986).
Transplantasi Enhalus acoroides secara vegetatif yang dilakukan di Teluk Banten dengan memanfaatkan substrat yang berbeda menemukan bahwa pertumbuhan daun muda, daun sedang dan daun tua pada substrat lumpur berturut-turut yakni 24,68 mm/hari, 23,99 mm/hari dan 19,49 mm/hari, sedangkan pada substrat pasir karang didapatkan 14,24 mm/hari, 11,58 mm/hari dan 9,08 mm/hari (Badria, 2007).

B.   Karakteristik Lamun Enhalus acoroides

Enhalus acoroides merupakan jenis lamun yang mempunyai ukuran paling besar.  Helaian daunnya dapat mencapai ukuran panjang lebih dari 1 meter.  Jenis ini tumbuh di perairan dangkal sampai kedalaman 4 meter, pada dasar pasir, pasir lumpur atau lumpur.  Vegetasinya melimpah di daerah pasang surut.  Walaupun cenderung untuk selalu membentuk vegetasi murni, namun terdapat jenis lain yang ditemukan berasosiasi dengannya, yaitu Halophila ovalis, Halodule uninervis, Cymodocea serrulata, Cymodocea rotundata, Thalassia hemprichii dan Syringodium isoetifolium. Enhalus acoroides berbunga sepanjang tahun (den Hartog, 1970). 
Rhizoma
buah
Akar
Daun
Gambar 1. Tegakan lamun Enhalus acoroides yang memperlihatkan bagian-bagiannya
Enhalus acoroides mempunyai rhizoma berdiameter 13,15 – 17,20mm yang tertutup rapat dengan rambut-rambut yang kaku dan keras (Gambar 1).  Akar berbentuk seperti tali, berjumlah banyak dan tidak bercabang dengan panjang antara 18,50 – 157,65mm, berdiameter antara 3,00 – 5,00mm.  Bentuk daun seperti pita tepinya rata dan ujungnya tumpul, panjangnya antara 65,0 – 160,0cm dan lebar antara 1,2 – 2,0cm. Bentuk buah bulat, dan  ketika matang tangkai buah memendek (bentuk spiral), buah terasa padat bila dipegang dan bulu buah memendek dan tidak terasa kaku lagi (den Hartog, 1970).
            Di rataan terumbu Pulau Pari, Enhalus acoroides tumbuh pada dasar lumpur, pasir dan pasir pecahan karang yang selalu tergenang air. Tumbuhnya berpencar dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari beberapa individu atau kumpulan individu yang rapat, berupa kelompok murni atau bersama-sama dengan Thalassia hemprichii dan Halophila ovalis (Kiswara, 1992 dalam Parada, 2002).
Enhalus acoroides dikelompokkan ke dalam taxa sebagai berikut (den Hartog, 1977):
          Regnum: Plantae
Divisio : Angiospermae
Classis : Liliopsida
Ordo : Hydrocharitales
Familia : Hydrocharitaceae
Genus: Enhalus
Species : Enhalus acoroides (Linnaeus f.) Royle
Enhalus acoroides umumnya tumbuh pada daerah perairan yang terlindung yaitu di daerah bersubstrat pasir berlumpur sampai pasir kasar di daerah perairan laut dangkal sampai estuaria (Tomascik et al, 1997).  Jenis ini juga dapat mentolerir tingkat salinitas rendah, dapat membentuk padang lamun tunggal atau campuran dengan jenis Thalassia hemprichii, serta merupakan tempat berlindung berbagai larva hewan laut.

C.   Ukuran Butir Substrat

Lamun hidup pada hampir semua jenis substrat mulai dari substrat lumpur sampai ke substrat berbatu. Partikel substrat dibedakan berdasarkan ukurannya yaitu kerikil/batu (> 2,00mm), pasir (0,05-2,00mm), geluh (silt) (0,002-0,05mm) dan lempung (clay) (< 0,002mm). Di Indonesia,padang lamun dikelompokkan kedalam enam kategori berdasarkan karakteristik tipe substratnya yaitu lamun yang hidup di substrat lumpur, pasir berlumpur, pasir, lumpur pasiran, puing-puing karang dan batu karang (Kiswara et al, 1985).
Laju pertumbuhan daun dan produksi  lamun Enhalus acoroides lebih tinggi pada substrat lumpur berpasir (sedimen terigenous) dibandingkan pada jenis substrat yang lain, karena substrat lumpur berpasir umumnya mempunyai ketersediaan unsur hara N dan P yang lebih tinggi. Ketersediaan unsur hara N dan P pada substrat tersebut, berkaitan dengan ukuran partikel dan ketebalan sedimen. Semakin kecil ukuran sedimen maka akan semakin besar pula ketersediaan unsur hara N dan P di substrat tersebut (Erftemeijer, 1993)

D.   Faktor Pembatas Pertumbuhan Lamun

1.    Nutrien

Ketersediaan nutrien menjadi faktor pembatas pertumbuhan, kelimpahan dan morfologi lamun pada perairan yang jernih.Lamun memperoleh nutrien melalui dua jaringan tubuhnya yaitu melalui akar dan daun. Di daerah tropis, konsentrasi nutrien yang larut dalam perairan lebih rendah jika dibandingkan dengan konsentrasi  nutrien yang ada di sedimen. Penyerapan nutrien pada kolom air dilakukan oleh daun sedangkan penyerapan nutrien dari sedimen dilakukan oleh akar namun tidak menutup kemungkinan pengangkutan nutrien oleh akar juga akan sampai pada bagian daun dari lamun (Erftemeijer, 1993).
Nitrat merupakan bentuk utama nitrogen di perairan alami yang sangat di butuhkan lamun dalam proses pertumbuhannya (Effendi 2003 dalam Irwanto 2010). Sedangkan fosfat merupakan bentuk fosfor yang sudah diurai oleh bakteri menjadi orthofosfat (PO4) dan dapat di manfaatkan oleh tumbuhan. Fosfat terdapat di sedimen dan dalam bentuk terlarut di air. Lamun  memanfaatkan fosfat dalam bentuk terlarut pula (Hutomo, 1999).

2.    Suhu

Beberapa peneliti melaporkan bahwa perubahan suhu akan membawa pengaruh terhadap kehidupan lamun, misalnya dapat memengaruhi metabolisme penyerapan unsur hara dan kelangsungan hidup lamun (Brouns dan Hiejs, 1986).
Kisaran suhu optimal bagi pertumbuhan lamun dan epifit adalah 25-30ºC. Apabila suhu perairan berada di luar kisaran optimal tersebut, maka kemampuan lamun dalam proses fotosintesis akan menurun dengan drastis pula (Dahuri et al, 2001).

3.    Salinitas

Toleransi lamun terhadap salinitas bervariasi tergantung pada jenis dan umur. Lamun yang tua dapat menolerir fluktuasi salinitas yang tinggi (Zieman 1993 dalam Hendra 2011). Menurut Dahuri et al (2001), sebagian besar lamun memiliki kisaran yang luas terhadap salinitas yaitu antara 10-40‰.

E.   Hubungan Lamun dengan Sedimen

Ketersediaan unsur hara di perairan padang lamun dapat berperan sebagai faktor pembatas pertumbuhan lamun. Lamun yang tumbuh pada sedimen yang mengandung kalsium karbonat (CaCO3), unsur hara fosfat dapat bertindak sebagai faktor pembatas pertumbuhan karena fosfat kuat terikat dengan partikel-partikel sedimennya. Selain itu, ketersediaan nitrogen organik di perairan diduga sebagai pembatas pertumbuhannya, sehingga efisisensi daur nutrisi dalam sistemnya akan menjadi sangat penting untuk memelihara produktivitas primer lamun dan organisme autotrofnya (Kiswara, 1995).
Mcroy et al (1972) dalam penelitiannya mengenai pengikatan fosfat oleh lamun dengan menggunakan teknik perunut 32P pada jenis Zostera marina menyimpulkan bahwa fosfat dalam sedimen adalah sumber utama untuk pertumbuhan lamun. Fosfat diserap oleh akar kemudian dialirkan ke daun dan kemudian dipindahkan ke perairan sekitarnya.
Unsur hara N dan P dapat berasal dari perairan itu sendiri atau dari luar perairan, dalam bentuk organik dan anorganik (hasil dekomposisi/penguraian). Peningkatan bahan organik akan memicu aktivitas organisme pengurai dalam menguraikan bahan organik menjadi anorganik dan penguraian (dekomposisi) bahan organik tersebut dilakukan oleh bakteri aerob dan anaerob.


                                                                                          III.     METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2012 sampai dengan Februari 2013 yang meliputi studi literatur dan persiapan alat, pengumpulan buah lamun Enhalus acoroides, pengambilan data pertumbuhan, analisis data dan penyusunan laporan akhir.
Pengambilan biji lamun Enhalus acoroides dilakukan di Pulau Barranglompo, sedangkan pengamatan (pembibitan) dilakukan di Laboratorium Biologi Laut. Untuk analisis nitrat dan fosfat air dilakukan di Laboratorium Oseanografi Kimia Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Untuk analisis nitrat dan fosfat sedimen dilakukan di Laboratorium Ilmu Tanah, Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin.

B.   Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan pada saat pengambilan buah lamun di lapangan adalah kantong sampel untuk tempat penyimpanan buah lamun.Alat yang digunakan pada saat pembibitan lamun di laboratorium yaitu: wadah (botol bekas air mineral ukuran 330 ml yang dipotong setinggi 10cm) digunakan sebagai wadah media tumbuh, aquarium digunakan sebagai tempat wadah, water pump digunakan sebagai alat untuk mensirkulasi air, mistar skala 1 mm digunakan untuk mengukur pertumbuhan lamun, thermometer untuk mengukur suhu, handrefractometer untuk mengukur salinitas dan jangka sorong untuk mengukur diameter biji lamun.
Bahan-bahan yang digunakan adalah aquades/air tawar digunakan untuk membersihkan wadah, kantong plastik sebagai tempat penyimpanan sedimen dari pulau barrang lompo, sedimen meliputi pasir alami (pasir karbonat dengan ukuran butir ±0,125mm), rubble yang terdiri dari berbagai bentuk pecahan karang, namun umumnya dari karang bercabang (ukuran butir ±>2,00 mm) dan pasir kuarsa (pasir bahan bangunan dengan ukuran butir ±0,50mm) digunakan sebagai substrat, serta buah lamun Enhalus acoroides.

C.   Prosedur Penelitian

1.    Tahap Persiapan dan tahap observasi

Tahap pertama adalah studi literatur, yang dilakukan untuk mempertajam fokus dari penelitian dan untuk penguatan kerangka teoritis, perumusan masalah, serta penyusunan metodologi penelitian.Tahap observasi dilakukan untuk mengetahui kondisi lapangan yang sesungguhnya, mengidentifikasi permasalahan sebagai hipotesa awal dalam perencanaan penelitian.Tahap observasi ini juga dilakukan untuk mengetahui lokasi yang sebenarnya untuk pengambilan buah lamun.

2.    Persiapan Media dan Substrat untuk Pembibitan Lamun Enhalus acoroides


Salah satu parameter pembatas pertumbuhan lamun adalah tingkat kekeruhan.  Air yang keruh akan menghambat proses fotosintesis daun lamun.  Oleh karena itu pada penelitian ini substrat lumpur tidak digunakan walaupun substrat lumpur pada beberapa tulisan dianggap media terbaik untuk pertumbuhan lamun. 
Pembibitan biji lamun pada penelitian ini menggunakan pasir pantai, rubble karang serta pasir kuarsa. Pembibitan lamun menggunakan pasir pantai dan rubble karang akan menjadi faktor pembatas, karena diperoleh pasir pantai dan rubble karang yang diambil dari laut. Bila usaha pembibitan bisa dilakukan dengan menggunakan pasir yang mudah diperoleh seperti pasir kuarsa, maka akan menjadi aspek yang memudahkan proses pembibitan.
Akuarium dan wadah plastik (botol bekas air mineral ukuran 330ml berdiameter 54mm, tinggi 10cm) dibersihkan terlebih dahulu, demikian pula halnya dengan substrat yang akan menjadi media tumbuh lamun. Substrat dicuci dengan air tawar beberapa kali hingga bersih, kemudian dijemur dibawah matahari dengan indikasi bahwa bakteri yang ada pada substrat akan berkurang atau bahkan hilang. Wadah plastik yang sudah bersih dan telah dilubangi, siap untuk digunakan.






Gambar 2. Model penanaman biji lamun dalam wadah substrat setinggi 6 cm

3.    Pengambilan Buah Lamun Enhalus acoroides

Buah lamun Enhalus acoroides diambil setelah dilakukan survey lapangan. Pengambilan buah lamun dilakukan dengan cara memetik buah yang dianggap sudah matang. Buah kemudian dicuci bersih sehingga tidak ada lagi butiran-butiran pasir yang melekat pada kulit buah. Setelah bersih, buah lamun tersebut dimasukkan kedalam kantong sampel untuk dibawa ke laboratorium.
                                                                                                        

A)
B)
 


Gambar 3. Buah (A), dan biji (B) dari lamun Enhalus acoroides

4.    Penandaan Wadah Substrat

Sebelum digunakan, wadah substrat yang sudah dibersihkan diberi label atau kode. Untuk wadah substrat pasir kuarsa di beri kode (PK) dengan jumlah maksimum 20 (PK1, PK2, sampai PK20), substrat pasir halus dari habitat alami diberi kode (PA) dengan jumlah maksimum 20 (PA1, PA2, sampai PA20), substrat rubble karang di beri kode (RK) dengan jumlah maksimum 20 (RK1, RK2 sampai RK20). Wadah kemudian di isi dengan substrat yang sesuai setinggi 6cm lalu di letakkan kedalam akuarium, dibiarkan selama 3 hari sebelum penanaman biji dilakukan.
Sebelum dilakukan penanaman, buah lamun yang telah terkumpul dibuka dan dikeluarkan bijinya dengan hati-hati agar selubung pembungkus biji tidak rusak. Masing-masing biji kemudian diukur diameternya dengan mengambil ukuran yang relatif seragam sebanyak 60 biji. Biji-biji tersebut selanjutnya digabungkan dan diambil secara acak untuk ditanam pada media tumbuh yang telah dipersiapkan dan diletakkan di dalam akuarium yang telah diisi air laut dan tersirkulasi.
Penanaman Biji Lamun Enhalus acoroides di Media Tumbuh  
39cm

PA1

RK2

PK4

PA6

RK7
35cm

PK9

a
PK1

PA3

RK4

PK6

PA8

RK9

RK1

PK3

PA5

RK6

PK8

PA10

PA2

RK3

PK5

PA7

RK8

PK10

PK2

PA4

RK5

PK7

PA9

RK10





39cm

PA11

RK12

PK14

PA16

RK17
35cm

PK19

PK11

PA13

RK14

PK16

PA18

RK19
b

RK11

PK13

PA15

RK16

PK18

PA20

PA12

RK13

PK15

PA17

RK18

PK20

PK12

PA14

RK15

PK17

PA19

RK20

Gambar 4. Posisi wadah saat biji disemaikan dalam dua akuarium yang terhubung dengan sistem sirkulasi. 

Keterangan:           PA     : Substrat Pasir alami (pasir karbonat)

                  
                             PK     : Substrat Pasir Kuarsa

                             RK     : Substrat Rubble karang


1.      Pengukuran Kualitas Air
a.    Suhu
Pengambilan data suhu yang dilakukan dengan menggunakan thermometer pada setiap akuarium dengan cara mencelupkan thermometer kedalam akuarium kemudian mencatat nilai suhu pada thermometer  tersebut setelah beberapa menit di celupkan.
b.    Salinitas
Pengukuran parameter salinitas dilakukan dengan menggunakan handrefractometer, dengan cara mengambil setetes air sampel pada akuarium, kemudian di teteskan pada kaca handrefractometer lalu dengan bantuan cahaya dilihat dan dicatat nilai salinitasnya.
c.    Nitrat
Air sampel di saring dengan menggunakan kertas Whatman, kemudian air yang sudah tersering dipipet 5ml kedalam tabung reaksi yang selanjutnya di tambahkan dengan larutan brucin sebanyak 0,5ml lalu di aduk. Ditambahkan 5ml asam sulfat pekat kemudian diaduk dan didiamkan beberapa menit sampai dingin. Lalu di buat pula larutan blanko dari 5ml akuades. Kemudian mengukur  kadar nitrat dengan menggunakan spektrofotometer DREL 2800 dalam satuan mg/L pada panjang gelombang 420nm. Mencatat nilai nitrat yang tertera di layar spektrofotometer DREL 2800.
d.    Fosfat
Menyaring air sampel sebanyak 25-50ml air sampel dengan kertas saring millipore 0,45μm atau yang setara. Kemudian di pipet 2,0ml air sample yang telah disaring, dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan 2,0ml  H3BO3 1%, dan diaduk, lalu ditambahkan  3,0ml larutan pengoksid Phosphat (campuran antara Asam sulfat 2,5 M, asam ascorbic dan ammonium mlybdate) aduk. Biarkan satu jam, agar terjadi reaksi yang sempurna. Mengukur kadar fosfat dengan menggunakan spektrofotometer DREL 2800 dalam satuan mg/L pada panjang gelombang 420nm. Lalu mencatat nilai fosfat yg tertera di layar Spektrofotometer DREL 2800.
2.      Pengukuran Pertumbuhan Semaian dari Biji Lamun Enhalus acoroides
Pengukuran pertumbuhan semaian lamun meliputi panjang daun, lebar daun, serta jumlah daun dengan menggunakan mistar plastik 1mm. Pengukuran pertama dilakukan setelah mulai muncul daun dari biji lamun yang ditanam, dan selanjutnya dilakukan setiap dua hari selama 8 minggu pemeliharaan. Untuk data tambahan dilakukan pula pengamatan pada perubahan jumlah lamun yang mati, panjang akar, jumlah akar dan diameter akar yang dilakukan setelah penelitian (akhir penelitian).
Laju pertumbuhan daun lamun didapatkan dengan menggunakan rumus (Supriadiet al. 2006).

 


Keterangan:
P : Pertumbuhan panjang (mm)      Lo : Panjang awal daun (mm)
Lt : Panjang akhir daun (mm)          Λt : Lama/waktu pengamatan (hari)

D.   Analisis Data

Untuk membandingkan pertumbuhan bibit lamun Enhalus acoroides pada perlakuan substrat digunakan analisis varians satu arah (One Way ANOVA). Jika hasil dari analisis tersebut menunjukkan adanya perbedaan signifikan, maka dilanjutkan dengan analisis post hoc test untuk menentukan dimana perbedaan itu berada.


                                                                                   IV.     HASIL DAN PEMBAHASAN

A.   Pertumbuhan Semaian Enhalus acoroides

1.    Pertumbuhan Panjang Daun Lamun Enhalus acoroides

Hasil perhitungan laju pertumbuhan daun dari semaian lamun Enhalus acoroides pada substrat yang berbeda, didapatkan bahwa semaian yang tumbuh di substrat alami secara signifikan lebih cepat di bandingkan dengan yang tumbuh pada substrat pasir kuarsa dan rubble karang (Gambar 5).
a
b
b
Gambar 5. Grafik rata-rata laju pertumbuhan panjang daun semaian Enhalus acoroides pada substrat yang berbeda.

Pola pertumbuhan lamun yang dilakukan pada substrat yang berbeda didapatkan bahwa substrat pasir alami memiliki  pola pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan substrat pasir kuarsa dan rubble karang. Berikut ini bentuk pola pertumbuhan daun semaian lamun Enhalus acoroides pada substrat yang berbeda (gambar 6).



                  







Gambar 6. Grafik pola pertumbuhan panjang daun Enhalus acoroides
Hasil pada grafik di atas menunjukkan adanya perbedaan laju pertumbuhan semaian lamun Enhalus acoroides pada substrat yang berbeda baik pada substrat pasir alami, pasir kuarsa dan rubble karang. Untuk pasir alami didapatkan laju pertumbuhan sekitar ±2.634 mm/hari. Pada pasir kuarsa didapatkan laju pertumbuhan sekitar ±1.796 mm/hari dan pada substrat rubble karang laju pertumbuhannya sekitar ±2.065 mm/hari.Hasil uji statistik one way ANOVA juga membuktikan bahwa pertumbuhan panjang daun semaian lamun Enhalus acoroides pada substrat pasir alami dengan substratpasir kuarsa dan substrat pasir alami dengan substrat rubble karang hasilnya berbeda nyata (p<0.05) (Lampiran 2). Sedangkan pada substrat pasir kuarsa terhadap substrat rubble karang tidak berbeda nyata (p>0.05). Hal ini di sebabkan karena tekstur sedimen pada pasir alami (PA) lebih halus, sehingga untuk menancapkan akar ke dalam substrat mudah dan tidak mengeluarkan energi yang lebih. Berbeda dengan partikel sedimen yang lebih kasar seperti subtrat yang lainnya digunakan dalam penelitian ini yaitu substrat pasir kuarsa (PK) dan substrat rubble karang (RK) akan membutuhkan energi yang lebih banyak untuk menancapkan akar. Sehingga energi yang akan digunakan untuk pertumbuhan daun pada pasir alami (PA) relatif masih banyak dibandingkan dengan substrat pasir kuarsa (RK) dan substrat rubble karang (RK).
Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Badria pada tahun (2007), tentang laju pertumbuhan Enhalus acoroides pada dua substrat yang berbeda di teluk banten yang dilkukan pada lamun alami yang ada pada teluk banten. Hasil penelitiannya tersebut mengatakan bahwa pada substrat yang lebih halus laju pertumbuhan panjang daun lamun Enhalus acoroides lebih tinggi dibandingkan dengan substrat yang kasar.

2.    Lebar Daun Enhalus acoroides

Pertambahan lebar daun lamun Enhalus acoroides pada substrat yang berbeda didapatkan hasil rata-rata pada grafik sebagai berikut:
Gambar 7.  Grafik rata-rata lebar daun lamun Enhaus acoroides                               

Pola pertambahan lebar daun lamun Enhalus acoroides pada ketiga substrat yang berbeda setelah di uji statistik dengan analisis one way ANOVA, menunjukkan bahwa pola pertambahan lebar daun tidak berbeda nyata (P>0,05) (Lampiran 3). Dari gambar grafik (gambar 7) di atas menunjukkan rata-rata pertambahan lebar daun Enhalus acoroides pada substrat pasir alami dan rubble karang yaitu ±0.094 mm/hari, sedangkan pada pasir kuarsa yaitu ±0.092 mm/hari.

5.    Jumlah Daun

Rata-rata jumlah daun Enhalus acoroides pada substrat yang berbeda dapat di lihat pada gambar 8.
Gambar 8. Grafik rata-rata pertambahan jumlah daun Enhalus acoroides pada substrat yang berbeda

            Grafik di atas menunjukkan bahwa pertambahan jumlah daun Enhalus acoroides yang disemaikan pada tiga substrat yang berbeda didapatkan rata-rata jumlah daun lebih tinggi pada substrat rubble karang, pasir alami kemudian pasir kuarsa dengan jumlah rata-rata berturut-turut yaitu ±0,097, ±0,096 dan ±0,093.  Dan hasil uji statistik One way ANOVA untuk rata-rata pertambahan jumlah daun menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05) (Lampiran 4).

B.   Kualitas Air

1.    Suhu

Kisaran nilai suhu air pada 2 akuarium yang berbeda yaitu 27– 29 oC. Dari hasil tersebut terlihat bahwa suhu suatu air laut pada akuarium masih relatif stabil dan masih dalam kisaran suhu optimal untuk pertumbuhan lamun yaitu 20-30oC (Nybakken 1992). Pengaruh suhu bagi lamun sangat besar, suhu memengaruhi proses-proses fisiologi yaitu fotosintesis, laju respirasi, pertumbuhan dan reproduksi. Proses-proses fisiologi tersebut akan menurun tajam apabila suhu perairan berada diluar kisaran tersebut.

2.    Salinitas

Pada hasil penelitian tentang pertumbuhan semaian lamun Enhalus acoroides pada dua akuarium yang air sirkulasi sama di dapatkan nilai kisaran salinitas air yaitu 30-31 ‰. Nilai ini masih cocok dalam kehidupan lamun, dimana dikatakan Dahuri et al (2001), bahwa sebagian besar lamun memiliki kisaran yang lebar terhadap salinitas yaitu 10-40 ‰. Namun nilai optimum toleransi terhadap salinitas di air laut adalah 35 ‰.

3.    Nutrien di kolom Air

Hasil analisis kadar nutrien dalam air pada penelitian ini yaitu tertera pada tabel berikut ini:
Tabel 1. Konsentrasi nutrient dalam kolom air
Pengukuran
Nutrien (mg/L)
Nitrat (NO3)
Fosfat (PO4)
Awal
2,08
1,61
Tengah
>3,5
1,18
Akhir
2,09
1,44

Kadar nitrat dalam air pada penelitian ini tergolong tinggi, seperti pada (tabel 1) diatas terlihat bahwa kadar nitrat pada awal penelitian sebesar 2,08 mg/L, pada pertengahan penelitian  >3,5 mg/L dan pada akhir penelitian sebesar 2,09 mg/L. Kadar nitrat pada hasil penelitian ini masih dalam kategori baik untuk pertumbuhan lamun. Seperti yang dikatakan oleh Boyd (1979) bahwa batas toleransi nitrat terendah adalah 0,10 mg/L dan yang tertinggi adalah 3,00 mg/L. Nilai kadar nitrat meningkat pada pertengahan penelitian. Hal ini diduga karena adanya penambahan air laut pada saat pertengahan penelitian.
Hasil pengukuran kandungan fosfat pada kolom air penelitian masih tergolong baik untuk pertumbuhan lamun. seperti pada (tabel 1) didapatkan nilai kadar fosfat pada awal penelitian yaitu sebesar 1,61 mg/L, pada pertengahan penelitian sebesar 1,18 mg/L dan pada kahir penelitian kadar nitratnya sebesar 1,44 mg/L. Nilai kandungan fosfat juga serupa di dapatkan oleh Faiqoh (2006) di pulau Burung Kepulauan seribu yakni pada minggu pertama dalam peletiannya kadar fosfatnya berkisar dari 0,892-1,221 mg/L, kemudian pada minggu kedua berkisar 0.805-1,195 mg/L. Hasil tersebut untuk pertumbuhan lamun masih dikatakan tergolong baik. Seperti pula pendapat Boyd (1989) menyatakan bahwa suatu perairan dikatakn subur apabila kadar fosfatnya 0,06 mg/L sampai 10 mg/L.

C.   Kandungan Nutrien dalam Sedimen

Lamun hidup pada berbagai macam tipe substrat, diantaranya pasir, lumpur, pasir berlumpur dan batu karang. Kondisi ini menentukan penyebarannya di perairan mulai dari pantai hingga ke daerah berbatasan dengan ekosistem terumbu karang. Selain dalam kolom perairan, nutrien juga dapat dijumpai dalam substrat.

1.    Nitrat

Hasil pengukuran rata-rata kandungan nitrat pada substrat yang berbeda dan dilakukan sebelum dan setelah penelitian dapat disajikan sebagai berikut:
Gambar 9. Grafik rata-rata Kadungan Nitrat dalam sedimen

Pada gambar grafik tersebut di atas dapat dilihat bahwa konsentrasi nitrat pada ketiga substrat yang berbeda memiliki nilai rata-rata yang berbeda pada awal hingga akhir penelitian. Kandungan nitrat pada sedimen awal penelitian yaitu pada substrat pasir alami (PA) sebesar 13,91 ppm, substrat pasir kuarsa (PK) sebesar 13,36 ppm dan pada rubble karang (RK) sebesar 10,25 ppm. Sedangkan setelah penelitian kandungan nitrat pada sedimen yaitu substrat pasir alami (PA) sebesar 12,6 ppm, substrat pasir kuarsa (PK) sebesar 16,1 ppm dan substrat rubble karang (RK) sebesar 10,39 ppm. Hal ini pula sesuai dengan hasil yang di dapatkan oleh Hamid (1996) di Teluk Grenyang sebesar 17,945-51,388 ppm dan Suparno (1999) di Teluk Banten sebesar 11,11-37,21 ppm. Perbedaan nilai konsentrasi nitrat pada ketiga substrat pada penelitian ini masih tergolong baik untuk pertumbuhan lamun.

2.    Fosfat

Hasil pengukuran rata-rata kandungan fosfat dalam sedimen yang dilakukan pada tiga substrat yang berbeda seperti pada grafik di bawah ini:
Gambar 10. Grafik rata-rata kandungan fosfat (PO4) dalam sedimen
       Dari gambar grafik diatas menunjukkan bahwa kandungan fosfat dalam sedimen yang dilakukan pada awal dan akhir penelitian didapatkan nilai yang berbeda. Kandungan fosfat pada awal penelitian yaitu untuk pasir alami (PA) sebesar 14,12 ppm, untuk substrat pasir kuarsa (PK) sebesar 15,29 ppm dan untuk substrat rubble karang (RK) sebesar 13,83 ppm. Sedangkan kandungan fosfat setelah penelitian didapatkan untk substrat pasir alami (PA) sebesar 17,7 ppm, untuk substrat pasir kuarsa (PK) sebesar 18,56 ppm dan untuk rubble karang (RK) sebesar 17,87 ppm. Hal ini sesuai dengan hasil yang didapatkan oleh Hamid (1996) di Teluk Grenyang Banten yaitu sebesar 16,873-34,243 ppm. Dengan hasil tesebut masih dalam kategori baik untuk pertumbuhan lamun berdasarkan data-data penelitian dilokasi lain.

D.   Hubungan antara Substrat dengan Pertumbuhan Lamun Enhalus acoroides


Substrat merupakan medium dari mana tumbuhan secara normal memperoleh nutrien. Substrat dapat didefinisikan pula sebagai medium alami untuk pertumbuhan tanaman yang tersusun atas mineral, bahan organik, dan organisme hidup. Air dan udara berada dalam pori-pori substrat. Distribusi dan ukuran rongga pori-pori tergantung pada struktur dan tekstur substrat.
Substrat menentukan sejauh mana lamun tumbuh. Umumnya lamun tumbuh pada substrat berlumpur sampai ke substrat berbatu. Perbedaan karakteristik substrat dapat memengaruhi pertumbuhan dan penyebaran lamun. Hal ini sesuai dengan penyataan Erftemeijer (1993) bahwa semakin kecil ukuran sedimen maka akan semakin besar pula ketersediaan unsur hara N dan P di substrat tersebut. Karena semakin kecil ukuran partikel substrat maka energi yang di gunakan akar untuk masuk kedalam substrat memperoleh nutrien  tidak banyak. Berbeda dengan substrat yang memiliki karakteristik yang kasar.
Hal ini pula dukung dengan hasil penelitian yang didapatkan pada panjang akar dan jumlam akar. Dimana panjang rata-rata akar  lamun Enhalus acoroides pada substrat pasir alami (PA) lebih tinggi di bandingkan dengan substrat pasir kuarsa (PK) dan rubble karang (RK). Sedangkan dari segi jumlah akar pada substrat rubble karang memiliki rata-rata yang tinggi dibandingkan dengan pasir alami dan pasir kuarsa (Tabel 2).
Tabel 2. Rata-rata Panjang dan jumlah Akar Enhalus acoroidespada akhir pengamatan
Substrat
Panjang dan jumlah rata-rata Akar Enhalus acoroides
Panjang Akar (mm)
Jumlah Akar
Pasir Alami
96.20 ± 0.107 (n=20)
2.10
Pasir Kuarsa
90.85 ± 0.069 (n=20)
2.30
Rubble Karang
76.2  ± 0.118 (n=20)
2.70





                                                                                        V.     SIMPULAN DAN SARAN

A.  Simpulan

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian ini dapat diambil simpulan bahwa substrat berpengaruh terhadap laju pertumbuhan semaian lamun Enhalus acoroides. Dimana substrat pasir alami (pasir karbonat) lebih tinggi laju pertumbuhannnya di bandingkan dengan substrat pasir kuarsa dan rubble karang.

B.   Saran

Perlu diadakan penelitian lanjutan untuk melihat tingkat kelangsungan hidupnya di lapangan, sehingga bisa di bandingkan hasil antara restorasi secara vegetatif dengan restorasi secara generatif. Dan untuk substrat sebaiknya menggunakan pasir alami (pasir karbonat) jika melakukan persemaian di laboratorium








DAFTAR PUSTAKA

Azkab, M.H. 1999.  Petunjuk Penanaman lamun.  Oseana, Volume XXIV, Nomor 3 :11 – 25.

Badria, S., 2007. Laju Pertumbuhan Daun Lamun Enhalus acoroides Pada Dua Substrat Berbeda Di Teluk Banten. Skripsi. Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor

Bengen,D.G.  2004.  Sinopsis  ekosistem  dan  sumberdaya  alam  pesisir.  Pusat  Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Instititut Pertanian Bogor.

Bjork, M., Short, F., Mcleod, E. and Beer, S. 2008. Managing Seagrasses for Resilience to Climate Change. IUCN Resilience Science Group Working Paper Series No.3. IUCN, Gland, Switzerland, 55 pp.

Boyd, C.E. 1989. Water Quality Management in Ponds for Aquculture Alabama. Agriculture Experiment Statiun Auburn. Universitas Alabama. USA.

Brouns, J.J.W.M and H.M.L. Heijs., 1986. Production and Biomass of the Seagrass, Enhalus acoroides (L.f.) Aquatic Botany. 25:21-24.

Coles R, Mckenzie L, Campbell S, Mellors J, Waycott M and Goggin L. 2004. Seagrasses in Queensland waters. Current State Of Knowledge. CRC Reef Research Centre. Australia.

Dahuri, R, R Jacub, P.G Sapta, dan M. J . Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Terpadu.  PT  Pradnya Paramita, Jakarta.

Den Hartog, 1970.  The Seagrasses of The World.  North Holland Publishing Co., Amsterdam.

Den Hartog 1977. Structure, Function and Clasification in Seagrasess Communities. Marcell Dekker. New York.

Erftemeijer P I. A and Middelburg. J.J. 1993. Sediment-nutrient Interactions in Tropical Seagrass Beds: a Comparison Between a Terrigenous and a Carbonate Sedimentary Environment in South Sulawesi (Indonesia). Marine  Ecology Progress Series, Vol,102: 187-198. Netherlands Institute of  Ecology, Centre for Estuarine and Coastal Ecology. Netherland.

Faiqoh, E. 2006. Laju Pertumbuhan dan Produksi Daun Enhalus acoroides (L.f) Royle di Pulau Burung, Kepulauan Seribu, Jakarta. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor.

Hamid, A. 1996. Peranan Faktor Lingkungan Perairan Terhadap Pertumbuhan Enhalus acoroides (L.f) Royle di Teluk Grenyang-Bojongara Kabupaten Serang, Jawa Barat. Tesis. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor.

Hendra. 2011. Pertumbuhan dan Produksi Biomassa Daun Lamun Halophila ovalis, Syringodium isoetifoliumdan Halodule uninervis Pada Ekosistem Padang Lamun di Perairan Pulau Barrang Lompo. Skripsi. Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin. Makassar.

Hutomo, M., 1999. Proses peningkatan Nutrient Mempengaruhi Kelangsungan Hidup Lamun. (Online). http://www.coremap.or.id/berita/article.php?id=160. (diakses pada hari Senin 09 Oktober 2012).

Irwanto, N. 2010. Laju Pertumbuhan dan Tingkat Kelangsungan Hidup Enhalus acoroides Yang Ditransplantasi Dengan Metode Plug Di Pulau Barrang Lompo. Skripsi. Jurusan Ilmu Kelautan. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Kiswara W, 1995. Kandungan Hara dalam Air Antara dan Air Permukaan Padang Lamun Pulau Barrang Lompo dan Gusung Talang, Sulawesi Selatan. Balitbang, Biologi, Pustlitbang Oseanologi, LIPI. Jakarta Timur.

Kiswara, W and M. Hutomo,. 1985. Habitat dan Sebaran Geografik Lamun. Oseana, Volume X, Nomor 1: 21-30. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Lanuru M. 2011. Bottom Sediment Characteristics Affecting the Success of Seagrass (Enhalus acoroides) Transplantation in the Westcoast of South Sulawesi (Indonesia). Department of Marine Science. Hasanuddin University, Makassar

Marion S.R and Orth R.J. 2010. Factors Influencing Seedling Establishment Rates in Zostera marina and Their Implications for Seagrass Restoration. Restoration Ecology.  Vol. 18, No. 4, pp. 549–559

McRoy, C.P., Barsdate, R.J., Nebert, M. 1972. Phosphorus cycling in an eelgrass (Z. marina L.) ecosystem.Limnol. Oceanogr. 17, 58–67.

Muchtar, M. 1999. Zat hara dan kondisi fisik Teluk Kuta, Lombok. Indonesia. Jakarta: Puslitbang Oseanologi LIPI.

Nybakken JW. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Penerbit PT. Gramedia Jakarta.

Parada, M., 2002. Kepadatan dan Produksi Lamun Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii. Skripsi. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin. Makassar.

Supriadi, D. Soedharma, dan R.F. Kaswadji., 2006. Beberapa Aspek Pertumbuhan Lamun E. acoroides. (Linn. F) Royle di Pulau Barrang Lompo. Makassar.

Tangke, U. 2010. Ekosistem Padang Lamun (Manfaat dan Fungsi Rehabilitasi). Faperta UMMU. Ternate

Thorhaug, A. 1974. Transplantation of the seagrass Thalassia testudinum Konig. Aquaculture 4 (2): 177-183).

Tomascik, T., A.J. Mah, A. Nontji, dan M.K. Moosa.  1997.  The Ecology of The Indonesian Seas.  Part Two.  The Ecology of Indonesia Series. Volume VIII. Periplus Edition (HK), Ltd, Singapore.
Tri PH. 2008. Rehabilitation and Conservation The Seagrass Meadows At Cam Hai Dong, Cam Ranh Bay, Khanh Hoa Province, Central Vietnam. Institute of Oceanography Nhatrang,Vietnam

1 komentar: