I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lamun merupakan tumbuhan
laut berbunga (Angiospermae) yang tumbuh
dan berkembang dengan baik di lingkungan pantai (den Hartog, 1970). Tumbuhan
ini memiliki banyak manfaat terhadap fungsi-fungsi biologis dan fisik di
lingkungan pantai (Thayeret al. 1975;
Thorhaug 1986, dalam Azkab,
1999). Secara ekologi manfaat lamun
sangat penting terhadap berbagai ekosistem di daerah pesisir. Padang lamun dikenal sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari makan (feeding ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) bermacam biota laut
(Bengen, 2004).
Meningkatnya aktivitas
manusia di sekitar perairan laut dangkal atau di daerah pantai, seperti pengembangan budidaya dan
kegiatan penangkapan ikan dengan peralatan yang merusak, menyebabkan menurunnya persentase penutupan areal padang
lamun sehingga fungsinya juga menurun. Padahal salah satu saran untuk mengatasi
atau mengurangi dampak dari pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim (climate change) yang disarankan oleh IUCN (The International Union for the Concervation of Nature) adalah
dengan pemeliharaan ekosistem padang lamun dalam skala yang luas (Bjork et al, 2008; Tri PH, 2008). Untuk memperbaiki fungsi suatu ekosistem padang
lamun, diawali dengan mengembalikan kondisi padang lamunnya. Restorasi
merupakan salah satu strategi pengelolaan yang efektif dan berkelanjutan untuk
membantu pemulihan kerusakan padang lamun.
Kegiatan restorasi yang selama ini banyak dilakukan adalah
dengan transplantasi vegetatif. Upaya
ini telah banyak dilakukan dengan metode dan jenis lamun yang berbeda. Seperti yang dilakukan oleh Addy tahun 1947
pada jenis Zostera marina, Fuss dan
Kelly tahun 1974 pada jenis Thalassia
testudinum (Azkab, 1999), dan Halodule
wrightii oleh Thorhaug (1974). Di Indonesia dilakukan pula transplantasi
vegetatif pada beberapa jenis seperti Enhalus
acoroides yang pernah dilakukan oleh Irwanto tahun 2010, Cymodocea rotundata dan Thalassia hemprichii oleh Azkab
(1987,1988) (Tangke, 2010; Lanuru, 2011). Namun untuk restorasi dengan
menggunakan metode transplantasi secara vegetatif dalam skala besar akan membutuhkan
lamun donor dalam jumlah yang besar pula yang dapat berpengaruh negatif
terhadap habitat lamun donor tersebut.
Di beberapa negara untuk menghindari resiko ini maka dilakukan
kegiatan restorasi dengan menggunakan tumbuhan lamun yang berasal dari biji
dengan jenis lamun yang berbeda. Seperti di daerah selatan Florida pada jenis Thalassia testudinum, Halodule
wrigthii dan Ruppia maritima, dan
dilakukan di Teluk
Cam Ranh
Vietnam pada jenis Zostera marina dan
Enhalus acoroides (Tangke, 2010;
Marion S.R, and Orth R.J, 2008; Tri P.H, 2008). Sedangkan di Indonesia upaya
restorasi dengan menggunakan bibit (restorasi generatif) masih belum banyak
dicoba.
Di daerah tropis seperti di Indonesia, penyebaran Enhalus acoroides sangat luas. Hampir semua
tipe substrat dapat ditumbuhi, Enhalus
acoroides dapat di temukan di semua tipe substrat, misalnya substrat
berlumpur, pasir, pasir pecahan karang sampai substrat berbatu yang selalu
tergenang air (Kiswara, 1992 dalam
Parada 2002; Bengen, 2004). Meskipun semua tipe substrat dapat ditumbuhi Enhalus acoroides, tingkat
pertumbuhannya berbeda-beda. Seperti yang dilakukan oleh Badria (2007) di Teluk
Banten menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan Enhalus acoroides berbeda berdasarkan tipe substratnya.
Berdasakan uraian tersebut di atas, maka perlu dilakukan
penelitian untuk mengetahui bagaimana pertumbuhan semaian lamun dari biji di
laboratorium dengan menggunakan substrat yang berbeda, khususnya pada lamun
jenis Enhalus acoroides.
B. Tujuan dan Kegunaan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan
substrat terhadap pertumbuhan bibit lamun Enhalus
acoroides. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi
dasar untuk pihak terkait maupun masyarakat mengenai substrat terbaik untuk
pembibitan lamun Enhalus acoroides
dalam rangka penyediaan bibit lamun untuk kegiatan restorasi habitat dalam
skala luas.
C. Ruang Lingkup
Penelitian ini dibatasi pada beberapa parameter, yaitu:
1.
Substrat yang berbeda, yaitu pasir kuarsa (pasir daratan), pasir
dari habitat alami dan rubble karang
(pecahan karang).
2.
Pertumbuhan bibit lamun dari biji meliputi: panjang daun, lebar
daun dan jumlah daun.
3.
Parameter kualitas air meliputi: suhu, salinitas, fosfat (PO4)
dan nitrat (NO3).
4.
Kandungan nutrien dalam substrat yaitu nitrat (NO3) dan
fosfat (PO4)
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Deskripsi Umum Lamun
Lamun adalah tumbuhan tingkat tinggi yang telah beradaptasi
penuh untuk dapat hidup pada lingkungan laut.
Eksistensi lamun di laut merupakan hasil dari beberapa adaptasi yang
dilakukan termasuk toleransi terhadap kadar garam yang tinggi, kemampuan untuk
menancapkan akar di substrat sebagai jangkar, dan juga untuk tumbuh dan
melakukan reproduksi pada saat terbenam (Coles R et al, 2004). Lamun juga tidak memiliki stomata, mempertahankan
kutikel yang tipis, perkembangan shrizogenous
pada sistem lakunar dan keberadaan diafragma pada sistem lakunar. Salah satu hal yang paling penting dalam
adaptasi reproduksi lamun adalah proses penyerbukannya yang dilakukan di bawah
permukaan air atau hydrophillous pollination (Tangke, 2010).
Tumbuhan lamun di dunia ini terdiri dari dua familia, 12 genera
dengan 49 species. Dari 12 genera
tersebut, tujuh diantaranya tumbuh di daerah tropis yaitu Enhalus,
Thalassia, Halophila, Halodule, Cymodocea, Syringodium dan Thalassodendron. Keanekaragaman tumbuhan lamun yang tertinggi
didapatkan di daerah Indo Pasifik dengan tujuh genera. Dari 25 jenis lamun yang hidup di daerah
tropis, 12 diantaranya dapat dijumpai di Perairan Indonesia (den Hartog,
1970). Di Kepulauan Spermonde terdapat tujuh
dari 12 species lamun yang ada di Indonesia, yang salah satunya adalah species Enhalus acoroides
Secara umum semua tipe dasar laut dapat ditumbuhi lamun, namun
padang lamun yang luas hanya dijumpai pada dasar laut berlumpur berpasir lunak
dan tebal. Padang lamun sering terdapat
di perairan laut antara hutan rawa mangrove dan terumbu karang (Bengen, 2004).
Bentuk vegetatif lamun memperlihatkan karakter tingkat
keseragaman yang tinggi. Hampir semua
genera memiliki rhizoma yang berkembang dengan baik serta bentuk daun yang
memanjang (linear) atau berbentuk
sangat panjang seperti ikat pinggang (belt),
kecuali pada jenis Halophila yang
memiliki daun bentuk lonjong dan bulat. Berbagai bentuk pertumbuhan tersebut
mempunyai kaitan dengan perbedaan ekologi lamun (den Hartog, 1977). Misalnya Parvozosterid dan Halophilid dapat dijumpai pada hampir semua habitat, mulai dari
pasir yang kasar sampai lumpur yang lunak, dari daerah dangkal sampai dalam,
dari laut terbuka sampai estuaria.
Pertumbuhan lamun dapat dilihat dari pertambahan bagian-bagian
tertentu, seperti pertambahan jumlah daun, lebar daun, jumlah tegakan daun dan juga
pertambahan rhizomanya (Brouns dan
Hiejs, 1986).Tetapi pertumbuhan untuk bagian rhizoma akan lebih sulit
diukur pada jenis-jenis tertentu karena umumnya rhizoma berada jauh di bawah
permukaan substrat. Penelitian mengenai pertumbuhan lamun yang sering dilakukan
lebih banyak mengacu pada pertumbuhan daun, mengingat daun lamun berada di atas
permukaan substrat sehingga mudah diamati pertumbuhannya (Brouns dan Hiejs, 1986).
Transplantasi Enhalus
acoroides secara vegetatif yang dilakukan di Teluk Banten dengan
memanfaatkan substrat yang berbeda menemukan bahwa pertumbuhan daun muda, daun
sedang dan daun tua pada substrat lumpur berturut-turut yakni 24,68 mm/hari,
23,99 mm/hari dan 19,49 mm/hari, sedangkan pada substrat pasir karang didapatkan
14,24 mm/hari, 11,58 mm/hari dan 9,08 mm/hari (Badria, 2007).
B. Karakteristik Lamun Enhalus acoroides
Enhalus acoroides merupakan jenis lamun yang mempunyai ukuran paling besar. Helaian daunnya dapat mencapai ukuran panjang
lebih dari 1 meter. Jenis ini tumbuh di
perairan dangkal sampai kedalaman 4 meter, pada dasar pasir, pasir lumpur atau
lumpur. Vegetasinya melimpah di daerah
pasang surut. Walaupun cenderung untuk
selalu membentuk vegetasi murni, namun terdapat jenis lain yang ditemukan
berasosiasi dengannya, yaitu Halophila
ovalis, Halodule uninervis, Cymodocea serrulata, Cymodocea rotundata, Thalassia
hemprichii dan Syringodium isoetifolium.
Enhalus acoroides berbunga sepanjang
tahun (den Hartog, 1970).
Rhizoma
|
buah
|
Akar
|
Daun
|
Gambar 1. Tegakan lamun Enhalus acoroides yang memperlihatkan
bagian-bagiannya
Enhalus acoroides mempunyai rhizoma berdiameter 13,15 – 17,20mm yang tertutup
rapat dengan rambut-rambut yang kaku dan keras (Gambar 1). Akar berbentuk seperti tali, berjumlah banyak
dan tidak bercabang dengan panjang antara 18,50 – 157,65mm, berdiameter antara
3,00 – 5,00mm. Bentuk daun seperti pita
tepinya rata dan ujungnya tumpul, panjangnya antara 65,0 – 160,0cm dan lebar
antara 1,2 – 2,0cm. Bentuk buah
bulat, dan ketika matang tangkai buah
memendek (bentuk spiral), buah terasa padat bila dipegang dan bulu buah
memendek dan tidak terasa kaku lagi (den Hartog, 1970).
Di rataan terumbu Pulau Pari, Enhalus acoroides tumbuh pada dasar lumpur, pasir dan pasir pecahan
karang yang selalu tergenang air. Tumbuhnya berpencar dalam kelompok-kelompok
kecil yang terdiri dari beberapa individu atau kumpulan individu yang rapat,
berupa kelompok murni atau bersama-sama dengan Thalassia hemprichii dan Halophila
ovalis (Kiswara, 1992 dalam
Parada, 2002).
Enhalus acoroides dikelompokkan ke dalam taxa sebagai berikut (den Hartog, 1977):
Regnum: Plantae
Divisio
: Angiospermae
Classis
: Liliopsida
Ordo
: Hydrocharitales
Familia
: Hydrocharitaceae
Genus:
Enhalus
Species : Enhalus acoroides (Linnaeus
f.) Royle
Enhalus acoroides umumnya tumbuh pada daerah
perairan yang terlindung yaitu di daerah bersubstrat pasir berlumpur sampai
pasir kasar di daerah perairan laut dangkal sampai estuaria (Tomascik et al, 1997). Jenis ini juga dapat mentolerir tingkat
salinitas rendah, dapat membentuk padang lamun tunggal atau campuran dengan
jenis Thalassia hemprichii, serta
merupakan tempat berlindung berbagai larva hewan laut.
C.
Ukuran Butir Substrat
Lamun hidup pada hampir semua jenis substrat mulai
dari substrat lumpur sampai ke substrat berbatu. Partikel substrat dibedakan
berdasarkan ukurannya yaitu kerikil/batu (> 2,00mm), pasir (0,05-2,00mm),
geluh (silt) (0,002-0,05mm) dan
lempung (clay) (< 0,002mm). Di Indonesia,padang
lamun dikelompokkan kedalam enam kategori berdasarkan karakteristik tipe
substratnya yaitu lamun yang hidup di substrat lumpur, pasir berlumpur, pasir,
lumpur pasiran, puing-puing karang dan batu karang (Kiswara et al, 1985).
Laju pertumbuhan daun dan produksi lamun Enhalus
acoroides lebih tinggi pada substrat lumpur berpasir (sedimen terigenous)
dibandingkan pada jenis substrat yang lain, karena substrat lumpur berpasir
umumnya mempunyai ketersediaan unsur hara N dan P yang lebih tinggi.
Ketersediaan unsur hara N dan P pada substrat tersebut, berkaitan dengan ukuran
partikel dan ketebalan sedimen. Semakin kecil ukuran sedimen maka akan semakin
besar pula ketersediaan unsur hara N dan P di substrat tersebut (Erftemeijer,
1993)
D. Faktor Pembatas Pertumbuhan Lamun
1. Nutrien
Ketersediaan nutrien menjadi faktor
pembatas pertumbuhan, kelimpahan dan morfologi lamun pada perairan yang jernih.Lamun memperoleh nutrien melalui dua
jaringan tubuhnya yaitu melalui akar dan daun. Di daerah tropis, konsentrasi
nutrien yang larut dalam perairan lebih rendah jika dibandingkan dengan
konsentrasi nutrien yang ada di sedimen.
Penyerapan nutrien pada kolom air dilakukan oleh daun sedangkan penyerapan
nutrien dari sedimen dilakukan oleh akar namun tidak menutup kemungkinan
pengangkutan nutrien oleh akar juga akan sampai pada bagian daun dari lamun
(Erftemeijer, 1993).
Nitrat merupakan bentuk utama nitrogen
di perairan alami yang sangat di butuhkan lamun dalam proses pertumbuhannya
(Effendi 2003 dalam Irwanto 2010). Sedangkan
fosfat merupakan bentuk fosfor yang sudah diurai oleh bakteri menjadi
orthofosfat (PO4) dan dapat di manfaatkan oleh tumbuhan. Fosfat
terdapat di sedimen dan dalam bentuk terlarut di air. Lamun memanfaatkan fosfat dalam bentuk terlarut
pula (Hutomo, 1999).
2. Suhu
Beberapa peneliti melaporkan bahwa
perubahan suhu akan membawa pengaruh terhadap kehidupan lamun, misalnya dapat
memengaruhi metabolisme penyerapan unsur hara dan kelangsungan hidup lamun
(Brouns dan Hiejs, 1986).
Kisaran suhu optimal bagi pertumbuhan lamun dan epifit adalah 25-30ºC. Apabila
suhu perairan berada di luar kisaran optimal tersebut, maka kemampuan lamun
dalam proses fotosintesis akan menurun dengan drastis pula (Dahuri et al, 2001).
3. Salinitas
Toleransi lamun terhadap salinitas bervariasi tergantung pada jenis dan
umur. Lamun yang tua dapat menolerir fluktuasi salinitas yang tinggi (Zieman
1993 dalam Hendra 2011). Menurut Dahuri
et al (2001), sebagian besar lamun
memiliki kisaran yang luas terhadap salinitas yaitu antara 10-40‰.
E. Hubungan Lamun dengan Sedimen
Ketersediaan unsur hara di perairan padang lamun dapat berperan sebagai
faktor pembatas pertumbuhan lamun. Lamun yang tumbuh pada sedimen yang
mengandung kalsium karbonat (CaCO3), unsur hara fosfat dapat bertindak
sebagai faktor pembatas pertumbuhan karena fosfat kuat terikat dengan
partikel-partikel sedimennya. Selain itu, ketersediaan nitrogen organik di
perairan diduga sebagai pembatas pertumbuhannya, sehingga efisisensi daur
nutrisi dalam sistemnya akan menjadi sangat penting untuk memelihara
produktivitas primer lamun dan organisme autotrofnya (Kiswara, 1995).
Mcroy et al (1972) dalam
penelitiannya mengenai pengikatan fosfat oleh lamun dengan menggunakan teknik
perunut 32P pada jenis Zostera
marina menyimpulkan bahwa fosfat dalam sedimen adalah sumber utama untuk
pertumbuhan lamun. Fosfat diserap oleh akar kemudian dialirkan ke daun dan
kemudian dipindahkan ke perairan sekitarnya.
Unsur hara N dan P dapat berasal dari perairan itu sendiri atau dari luar
perairan, dalam bentuk organik dan anorganik (hasil dekomposisi/penguraian).
Peningkatan bahan organik akan memicu aktivitas organisme pengurai dalam menguraikan
bahan organik menjadi anorganik dan penguraian (dekomposisi) bahan organik
tersebut dilakukan oleh bakteri aerob dan anaerob.
III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2012 sampai
dengan Februari 2013 yang meliputi studi literatur dan persiapan alat,
pengumpulan buah lamun Enhalus acoroides,
pengambilan data pertumbuhan, analisis data dan penyusunan laporan akhir.
Pengambilan biji lamun Enhalus
acoroides dilakukan di Pulau Barranglompo, sedangkan pengamatan
(pembibitan) dilakukan di Laboratorium Biologi Laut. Untuk analisis nitrat dan
fosfat air dilakukan di Laboratorium Oseanografi Kimia Jurusan Ilmu Kelautan,
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Untuk analisis nitrat dan fosfat sedimen
dilakukan di Laboratorium Ilmu Tanah, Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian
Universitas Hasanuddin.
B. Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan pada saat pengambilan buah lamun di lapangan adalah kantong sampel untuk tempat
penyimpanan buah lamun.Alat yang
digunakan pada saat pembibitan lamun di laboratorium yaitu: wadah (botol bekas air
mineral ukuran 330 ml yang dipotong setinggi 10cm) digunakan sebagai wadah
media tumbuh, aquarium digunakan sebagai tempat wadah, water pump digunakan sebagai alat untuk mensirkulasi air, mistar
skala 1 mm digunakan untuk mengukur pertumbuhan lamun, thermometer untuk mengukur suhu, handrefractometer untuk mengukur salinitas dan jangka sorong untuk
mengukur diameter biji lamun.
Bahan-bahan yang digunakan adalah
aquades/air tawar digunakan untuk membersihkan wadah, kantong
plastik sebagai tempat penyimpanan sedimen dari pulau barrang lompo, sedimen
meliputi pasir alami (pasir karbonat dengan ukuran butir ±0,125mm), rubble yang terdiri dari berbagai bentuk
pecahan karang, namun umumnya dari karang bercabang (ukuran butir ±>2,00 mm)
dan pasir kuarsa (pasir bahan bangunan dengan ukuran butir ±0,50mm) digunakan
sebagai substrat, serta buah lamun Enhalus
acoroides.
C.
Prosedur Penelitian
1. Tahap Persiapan dan tahap observasi
Tahap pertama adalah studi literatur, yang dilakukan untuk
mempertajam fokus dari penelitian dan untuk penguatan kerangka teoritis,
perumusan masalah, serta penyusunan metodologi penelitian.Tahap observasi dilakukan
untuk mengetahui kondisi lapangan yang sesungguhnya, mengidentifikasi
permasalahan sebagai hipotesa awal dalam perencanaan penelitian.Tahap
observasi ini juga dilakukan untuk mengetahui lokasi yang sebenarnya untuk
pengambilan buah lamun.
2.
Persiapan Media dan Substrat untuk Pembibitan
Lamun Enhalus acoroides
Salah satu parameter pembatas pertumbuhan lamun adalah tingkat
kekeruhan. Air yang keruh akan
menghambat proses fotosintesis daun lamun.
Oleh karena itu pada penelitian ini substrat lumpur tidak digunakan
walaupun substrat lumpur pada beberapa tulisan dianggap media terbaik untuk
pertumbuhan lamun.
Pembibitan biji lamun pada penelitian ini menggunakan pasir
pantai, rubble karang serta pasir
kuarsa. Pembibitan lamun menggunakan pasir pantai dan rubble karang akan menjadi faktor pembatas, karena diperoleh pasir pantai dan rubble
karang yang diambil dari laut. Bila usaha pembibitan bisa dilakukan dengan
menggunakan pasir yang mudah diperoleh seperti pasir kuarsa, maka akan menjadi
aspek yang memudahkan proses pembibitan.
Akuarium
dan wadah plastik (botol bekas air mineral ukuran
330ml berdiameter
54mm, tinggi 10cm) dibersihkan terlebih dahulu, demikian pula halnya dengan substrat
yang akan menjadi media tumbuh lamun. Substrat dicuci dengan air tawar beberapa
kali hingga bersih, kemudian dijemur dibawah matahari dengan indikasi bahwa
bakteri yang ada pada substrat akan berkurang atau bahkan hilang. Wadah plastik
yang sudah bersih dan telah dilubangi, siap untuk digunakan.
Gambar 2.
Model penanaman biji lamun dalam wadah substrat setinggi 6 cm
3. Pengambilan Buah Lamun Enhalus acoroides
A)
|
B)
|
Gambar 3. Buah (A), dan biji
(B) dari lamun Enhalus acoroides
4. Penandaan Wadah Substrat
Sebelum digunakan, wadah substrat yang sudah
dibersihkan diberi label atau kode. Untuk wadah substrat pasir kuarsa di beri kode
(PK) dengan jumlah maksimum 20 (PK1, PK2, sampai PK20), substrat
pasir halus dari habitat alami diberi kode (PA) dengan jumlah maksimum 20 (PA1,
PA2, sampai PA20), substrat rubble karang di beri kode (RK) dengan
jumlah maksimum 20 (RK1, RK2 sampai RK20).
Wadah kemudian di isi dengan substrat yang sesuai setinggi 6cm lalu di letakkan
kedalam akuarium, dibiarkan selama 3 hari sebelum penanaman biji dilakukan.
Sebelum dilakukan penanaman, buah lamun yang telah terkumpul dibuka
dan dikeluarkan bijinya dengan hati-hati agar selubung pembungkus biji tidak
rusak. Masing-masing biji kemudian diukur diameternya dengan mengambil ukuran yang relatif
seragam sebanyak 60 biji. Biji-biji tersebut
selanjutnya digabungkan dan diambil secara acak untuk ditanam pada media tumbuh
yang telah dipersiapkan dan diletakkan di dalam akuarium yang telah diisi air
laut dan tersirkulasi.
Penanaman Biji Lamun Enhalus acoroides di Media Tumbuh
PA1
|
RK2
|
PK4
|
PA6
|
RK7
|
PK9
|
|||||||
|
PA3
|
RK4
|
PK6
|
PA8
|
RK9
|
|||||||
RK1
|
PK3
|
PA5
|
RK6
|
PK8
|
PA10
|
|||||||
PA2
|
RK3
|
PK5
|
PA7
|
RK8
|
PK10
|
|||||||
PK2
|
PA4
|
RK5
|
PK7
|
PA9
|
RK10
|
PA11
|
RK12
|
PK14
|
PA16
|
RK17
|
PK19
|
|||||||
PK11
|
PA13
|
RK14
|
PK16
|
PA18
|
RK19
|
|||||||
RK11
|
PK13
|
PA15
|
RK16
|
PK18
|
PA20
|
|||||||
PA12
|
RK13
|
PK15
|
PA17
|
RK18
|
PK20
|
|||||||
PK12
|
PA14
|
RK15
|
PK17
|
PA19
|
RK20
|
Gambar 4. Posisi wadah
saat biji disemaikan dalam dua akuarium yang terhubung dengan sistem
sirkulasi.
|
Keterangan: PA :
Substrat Pasir alami (pasir karbonat)
|
PK :
Substrat Pasir Kuarsa
|
RK :
Substrat Rubble karang
1. Pengukuran Kualitas Air
a.
Suhu
Pengambilan data suhu yang dilakukan dengan menggunakan thermometer pada setiap akuarium dengan
cara mencelupkan thermometer kedalam
akuarium kemudian mencatat nilai suhu pada thermometer tersebut setelah beberapa menit di celupkan.
b.
Salinitas
Pengukuran parameter
salinitas dilakukan dengan menggunakan handrefractometer,
dengan cara mengambil setetes air sampel pada akuarium, kemudian di teteskan
pada kaca handrefractometer lalu
dengan bantuan cahaya dilihat dan dicatat nilai salinitasnya.
c.
Nitrat
Air sampel di saring
dengan menggunakan kertas Whatman, kemudian air yang sudah tersering dipipet 5ml
kedalam tabung reaksi yang selanjutnya di tambahkan dengan larutan brucin
sebanyak 0,5ml lalu di aduk. Ditambahkan 5ml asam sulfat pekat kemudian diaduk
dan didiamkan beberapa menit sampai dingin. Lalu di buat pula larutan blanko
dari 5ml akuades. Kemudian mengukur
kadar nitrat dengan menggunakan spektrofotometer DREL 2800 dalam satuan
mg/L pada panjang gelombang 420nm. Mencatat nilai nitrat yang tertera di layar
spektrofotometer DREL 2800.
d.
Fosfat
Menyaring air sampel sebanyak 25-50ml air sampel dengan
kertas saring millipore 0,45μm atau yang setara. Kemudian di pipet 2,0ml air
sample yang telah disaring, dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian
ditambahkan 2,0ml H3BO3
1%, dan diaduk, lalu ditambahkan 3,0ml
larutan pengoksid Phosphat (campuran antara Asam sulfat 2,5 M, asam ascorbic
dan ammonium mlybdate) aduk. Biarkan satu jam, agar terjadi reaksi yang
sempurna. Mengukur kadar fosfat dengan menggunakan spektrofotometer DREL 2800
dalam satuan mg/L pada panjang gelombang 420nm. Lalu mencatat nilai fosfat yg
tertera di layar Spektrofotometer DREL 2800.
2. Pengukuran Pertumbuhan Semaian dari Biji Lamun Enhalus acoroides
Pengukuran pertumbuhan semaian lamun meliputi panjang daun,
lebar daun, serta jumlah daun dengan menggunakan mistar plastik 1mm. Pengukuran
pertama dilakukan setelah mulai muncul daun dari biji lamun yang
ditanam, dan selanjutnya dilakukan setiap dua
hari
selama 8 minggu pemeliharaan. Untuk data tambahan
dilakukan pula pengamatan pada perubahan jumlah lamun yang mati, panjang akar,
jumlah akar dan diameter akar yang dilakukan setelah penelitian (akhir
penelitian).
Laju pertumbuhan daun lamun didapatkan dengan menggunakan rumus
(Supriadiet al. 2006).
|
Keterangan:
P : Pertumbuhan panjang (mm) Lo : Panjang awal daun (mm)
Lt : Panjang akhir daun (mm) Λt : Lama/waktu pengamatan (hari)
D. Analisis Data
Untuk membandingkan
pertumbuhan bibit lamun Enhalus acoroides
pada perlakuan substrat digunakan analisis varians satu arah (One Way ANOVA). Jika
hasil dari analisis tersebut menunjukkan adanya perbedaan signifikan, maka dilanjutkan
dengan analisis post hoc test untuk
menentukan dimana perbedaan itu berada.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pertumbuhan Semaian Enhalus acoroides
1. Pertumbuhan Panjang Daun Lamun Enhalus acoroides
Hasil perhitungan laju pertumbuhan
daun dari semaian lamun Enhalus acoroides
pada substrat yang berbeda, didapatkan bahwa semaian yang tumbuh di substrat
alami secara signifikan lebih cepat di bandingkan dengan yang tumbuh pada
substrat pasir kuarsa dan rubble karang (Gambar 5).
a
|
b
|
b
|
Gambar 5. Grafik rata-rata
laju pertumbuhan panjang daun semaian Enhalus
acoroides pada substrat yang berbeda.
Pola pertumbuhan lamun yang dilakukan pada substrat yang berbeda
didapatkan bahwa substrat pasir alami memiliki
pola pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan substrat pasir
kuarsa dan rubble karang. Berikut ini bentuk pola pertumbuhan daun semaian
lamun Enhalus acoroides pada substrat
yang berbeda (gambar 6).
Gambar 6. Grafik pola
pertumbuhan panjang daun Enhalus
acoroides
Hasil pada grafik di atas menunjukkan adanya perbedaan laju
pertumbuhan semaian lamun Enhalus
acoroides pada substrat yang berbeda baik pada substrat pasir alami, pasir
kuarsa dan rubble karang. Untuk pasir alami didapatkan laju pertumbuhan sekitar
±2.634 mm/hari. Pada pasir kuarsa didapatkan laju pertumbuhan sekitar ±1.796
mm/hari dan pada substrat rubble karang laju pertumbuhannya sekitar ±2.065
mm/hari.Hasil uji statistik one way ANOVA
juga membuktikan bahwa pertumbuhan panjang daun semaian lamun Enhalus acoroides pada substrat pasir
alami dengan substratpasir kuarsa dan substrat pasir alami dengan substrat rubble
karang hasilnya berbeda nyata (p<0.05) (Lampiran 2). Sedangkan pada substrat
pasir kuarsa terhadap substrat rubble karang tidak berbeda nyata (p>0.05).
Hal ini di sebabkan karena tekstur sedimen pada pasir alami (PA) lebih halus, sehingga
untuk menancapkan akar ke dalam substrat mudah dan tidak mengeluarkan energi
yang lebih. Berbeda dengan partikel sedimen yang lebih kasar seperti subtrat
yang lainnya digunakan dalam penelitian ini yaitu substrat pasir kuarsa (PK)
dan substrat rubble karang (RK) akan membutuhkan energi yang lebih banyak untuk
menancapkan akar. Sehingga energi yang akan digunakan untuk pertumbuhan daun
pada pasir alami (PA) relatif masih banyak dibandingkan dengan substrat pasir
kuarsa (RK) dan substrat rubble karang (RK).
Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Badria
pada tahun (2007), tentang laju pertumbuhan Enhalus
acoroides pada dua substrat yang berbeda di teluk banten yang dilkukan pada
lamun alami yang ada pada teluk banten. Hasil penelitiannya tersebut mengatakan
bahwa pada substrat yang lebih halus laju pertumbuhan panjang daun lamun Enhalus acoroides lebih tinggi dibandingkan
dengan substrat yang kasar.
2. Lebar Daun Enhalus acoroides
Pertambahan lebar daun lamun Enhalus
acoroides pada substrat yang berbeda didapatkan hasil rata-rata pada grafik
sebagai berikut:
Gambar 7.
Grafik rata-rata lebar daun lamun Enhaus
acoroides
Pola pertambahan lebar
daun lamun Enhalus acoroides pada
ketiga substrat yang berbeda setelah di uji statistik dengan analisis one way
ANOVA, menunjukkan bahwa pola pertambahan lebar daun tidak berbeda nyata (P>0,05)
(Lampiran 3). Dari gambar grafik (gambar 7) di atas menunjukkan rata-rata
pertambahan lebar daun Enhalus acoroides
pada substrat pasir alami dan rubble karang yaitu ±0.094 mm/hari, sedangkan
pada pasir kuarsa yaitu ±0.092 mm/hari.
5. Jumlah Daun
Rata-rata jumlah daun Enhalus
acoroides pada substrat yang berbeda dapat di lihat pada gambar 8.
Gambar
8. Grafik rata-rata pertambahan jumlah daun Enhalus
acoroides pada substrat yang berbeda
Grafik
di atas menunjukkan bahwa pertambahan jumlah daun Enhalus acoroides yang disemaikan pada tiga substrat yang berbeda
didapatkan rata-rata jumlah daun lebih tinggi pada substrat rubble karang,
pasir alami kemudian pasir kuarsa dengan jumlah rata-rata berturut-turut yaitu ±0,097,
±0,096 dan ±0,093. Dan hasil uji
statistik One way ANOVA untuk
rata-rata pertambahan jumlah daun menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata
(P>0,05) (Lampiran 4).
B. Kualitas Air
1. Suhu
Kisaran nilai suhu air
pada 2 akuarium yang berbeda yaitu 27– 29 oC. Dari hasil tersebut
terlihat bahwa suhu suatu air laut pada akuarium masih relatif stabil dan masih
dalam kisaran suhu optimal untuk pertumbuhan lamun yaitu 20-30oC
(Nybakken 1992). Pengaruh suhu
bagi lamun sangat besar, suhu memengaruhi proses-proses fisiologi yaitu
fotosintesis, laju respirasi, pertumbuhan dan reproduksi. Proses-proses
fisiologi tersebut akan menurun tajam apabila suhu perairan berada diluar
kisaran tersebut.
2.
Salinitas
Pada hasil penelitian tentang pertumbuhan semaian lamun Enhalus acoroides pada dua akuarium yang
air sirkulasi sama di dapatkan nilai kisaran salinitas air yaitu 30-31 ‰. Nilai
ini masih cocok dalam kehidupan lamun, dimana dikatakan Dahuri et al (2001), bahwa sebagian besar lamun
memiliki kisaran yang lebar terhadap salinitas yaitu 10-40 ‰. Namun nilai
optimum toleransi terhadap salinitas di air laut adalah 35 ‰.
3. Nutrien di kolom Air
Hasil analisis kadar
nutrien dalam air pada penelitian ini yaitu tertera pada tabel berikut ini:
Tabel 1. Konsentrasi nutrient dalam kolom air
Pengukuran
|
Nutrien (mg/L)
|
|
Nitrat (NO3)
|
Fosfat (PO4)
|
|
Awal
|
2,08
|
1,61
|
Tengah
|
>3,5
|
1,18
|
Akhir
|
2,09
|
1,44
|
Kadar nitrat dalam air
pada penelitian ini tergolong tinggi, seperti pada (tabel 1) diatas terlihat
bahwa kadar nitrat pada awal penelitian sebesar 2,08 mg/L, pada pertengahan
penelitian >3,5 mg/L dan pada akhir
penelitian sebesar 2,09 mg/L. Kadar nitrat pada hasil penelitian ini masih
dalam kategori baik untuk pertumbuhan lamun. Seperti yang dikatakan oleh Boyd
(1979) bahwa batas toleransi nitrat terendah adalah 0,10 mg/L dan yang
tertinggi adalah 3,00 mg/L. Nilai kadar nitrat meningkat pada pertengahan
penelitian. Hal ini diduga karena adanya penambahan air laut pada saat
pertengahan penelitian.
Hasil pengukuran
kandungan fosfat pada kolom air penelitian masih tergolong baik untuk
pertumbuhan lamun. seperti pada (tabel 1) didapatkan nilai kadar fosfat pada
awal penelitian yaitu sebesar 1,61 mg/L, pada pertengahan penelitian sebesar
1,18 mg/L dan pada kahir penelitian kadar nitratnya sebesar 1,44 mg/L. Nilai
kandungan fosfat juga serupa di dapatkan oleh Faiqoh (2006) di pulau Burung
Kepulauan seribu yakni pada minggu pertama dalam peletiannya kadar fosfatnya
berkisar dari 0,892-1,221 mg/L, kemudian pada minggu kedua berkisar 0.805-1,195
mg/L. Hasil tersebut untuk pertumbuhan lamun masih dikatakan tergolong baik.
Seperti pula pendapat Boyd (1989) menyatakan bahwa suatu perairan dikatakn
subur apabila kadar fosfatnya 0,06 mg/L sampai 10 mg/L.
C. Kandungan Nutrien dalam Sedimen
Lamun hidup pada
berbagai macam tipe substrat, diantaranya pasir, lumpur, pasir berlumpur dan
batu karang. Kondisi ini menentukan penyebarannya di perairan mulai dari pantai
hingga ke daerah berbatasan dengan ekosistem terumbu karang. Selain dalam kolom
perairan, nutrien juga dapat dijumpai dalam substrat.
1. Nitrat
Hasil pengukuran
rata-rata kandungan nitrat pada substrat yang berbeda dan dilakukan sebelum dan
setelah penelitian dapat disajikan sebagai berikut:
Gambar 9. Grafik rata-rata Kadungan Nitrat dalam sedimen
Pada gambar grafik tersebut di atas dapat dilihat bahwa
konsentrasi nitrat pada ketiga substrat yang berbeda memiliki nilai rata-rata
yang berbeda pada awal hingga akhir penelitian. Kandungan nitrat pada sedimen
awal penelitian yaitu pada substrat pasir alami (PA) sebesar 13,91 ppm,
substrat pasir kuarsa (PK) sebesar 13,36 ppm dan pada rubble karang (RK)
sebesar 10,25 ppm. Sedangkan setelah penelitian kandungan nitrat pada sedimen
yaitu substrat pasir alami (PA) sebesar 12,6 ppm, substrat pasir kuarsa (PK)
sebesar 16,1 ppm dan substrat rubble karang (RK) sebesar 10,39 ppm. Hal ini
pula sesuai dengan hasil yang di dapatkan oleh Hamid (1996) di Teluk Grenyang
sebesar 17,945-51,388 ppm dan Suparno (1999) di Teluk Banten sebesar 11,11-37,21
ppm. Perbedaan nilai konsentrasi nitrat pada ketiga substrat pada penelitian
ini masih tergolong baik untuk pertumbuhan lamun.
2. Fosfat
Hasil
pengukuran rata-rata kandungan fosfat dalam sedimen yang dilakukan pada tiga
substrat yang berbeda seperti pada grafik di bawah ini:
Gambar 10. Grafik
rata-rata kandungan fosfat (PO4) dalam sedimen
Dari gambar grafik diatas menunjukkan
bahwa kandungan fosfat dalam sedimen yang dilakukan pada awal dan akhir
penelitian didapatkan nilai yang berbeda. Kandungan fosfat pada awal penelitian
yaitu untuk pasir alami (PA) sebesar 14,12 ppm, untuk substrat pasir kuarsa
(PK) sebesar 15,29 ppm dan untuk substrat rubble karang (RK) sebesar 13,83 ppm.
Sedangkan kandungan fosfat setelah penelitian didapatkan untk substrat pasir
alami (PA) sebesar 17,7 ppm, untuk substrat pasir kuarsa (PK) sebesar 18,56 ppm
dan untuk rubble karang (RK) sebesar 17,87 ppm. Hal ini sesuai dengan hasil
yang didapatkan oleh Hamid (1996) di Teluk Grenyang Banten yaitu sebesar
16,873-34,243 ppm. Dengan hasil tesebut masih dalam kategori baik untuk
pertumbuhan lamun
berdasarkan data-data penelitian dilokasi lain.
D.
Hubungan antara Substrat dengan Pertumbuhan
Lamun Enhalus acoroides
Substrat merupakan
medium dari mana tumbuhan secara normal memperoleh nutrien. Substrat dapat
didefinisikan pula sebagai medium alami untuk pertumbuhan tanaman yang tersusun
atas mineral, bahan organik, dan organisme hidup. Air dan udara berada dalam
pori-pori substrat. Distribusi dan ukuran rongga pori-pori tergantung pada struktur
dan tekstur substrat.
Substrat menentukan
sejauh mana lamun tumbuh. Umumnya lamun tumbuh pada substrat berlumpur sampai
ke substrat berbatu. Perbedaan karakteristik substrat dapat memengaruhi
pertumbuhan dan penyebaran lamun. Hal ini sesuai dengan penyataan Erftemeijer (1993) bahwa semakin kecil ukuran
sedimen maka akan semakin besar pula ketersediaan unsur hara N dan P di
substrat tersebut. Karena semakin kecil ukuran partikel substrat maka energi
yang di gunakan akar untuk masuk kedalam substrat memperoleh nutrien tidak banyak. Berbeda dengan substrat yang
memiliki karakteristik yang kasar.
Hal ini pula dukung dengan hasil penelitian yang didapatkan pada
panjang akar dan jumlam akar. Dimana panjang rata-rata akar lamun Enhalus
acoroides pada substrat pasir alami (PA) lebih tinggi di bandingkan dengan
substrat pasir kuarsa (PK) dan rubble karang (RK). Sedangkan dari segi jumlah
akar pada substrat rubble karang memiliki rata-rata yang tinggi dibandingkan
dengan pasir alami dan pasir kuarsa (Tabel 2).
Tabel 2. Rata-rata
Panjang dan jumlah Akar Enhalus acoroidespada
akhir pengamatan
Substrat
|
Panjang dan jumlah
rata-rata Akar Enhalus acoroides
|
|
Panjang Akar (mm)
|
Jumlah Akar
|
|
Pasir Alami
|
96.20 ± 0.107 (n=20)
|
2.10
|
Pasir Kuarsa
|
90.85 ± 0.069 (n=20)
|
2.30
|
Rubble Karang
|
76.2 ± 0.118 (n=20)
|
2.70
|
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil yang diperoleh
dari penelitian ini dapat diambil simpulan bahwa substrat berpengaruh terhadap
laju pertumbuhan semaian lamun Enhalus
acoroides. Dimana substrat pasir alami (pasir karbonat) lebih tinggi laju
pertumbuhannnya di bandingkan dengan substrat pasir kuarsa dan rubble karang.
B. Saran
Perlu diadakan penelitian lanjutan untuk melihat tingkat
kelangsungan hidupnya di lapangan, sehingga bisa di bandingkan hasil antara
restorasi secara vegetatif dengan restorasi secara generatif. Dan untuk
substrat sebaiknya menggunakan pasir alami (pasir karbonat) jika melakukan
persemaian di laboratorium
DAFTAR PUSTAKA
Azkab, M.H. 1999. Petunjuk
Penanaman lamun. Oseana, Volume
XXIV, Nomor 3 :11 – 25.
Badria, S., 2007. Laju Pertumbuhan Daun Lamun Enhalus acoroides Pada Dua Substrat
Berbeda Di Teluk Banten. Skripsi. Program Studi Ilmu dan Teknologi
Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor
Bengen,D.G. 2004. Sinopsis
ekosistem dan sumberdaya
alam pesisir. Pusat
Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Instititut Pertanian Bogor.
Bjork, M., Short, F., Mcleod, E. and Beer, S. 2008. Managing Seagrasses for Resilience to Climate Change. IUCN
Resilience Science Group Working Paper Series No.3. IUCN, Gland, Switzerland,
55 pp.
Boyd, C.E. 1989. Water Quality
Management in Ponds for Aquculture Alabama. Agriculture Experiment Statiun
Auburn. Universitas Alabama. USA.
Brouns, J.J.W.M and H.M.L.
Heijs., 1986. Production and Biomass of
the Seagrass, Enhalus acoroides
(L.f.) Aquatic Botany. 25:21-24.
Coles R,
Mckenzie L, Campbell S, Mellors J, Waycott M and Goggin L. 2004. Seagrasses in Queensland waters. Current
State Of Knowledge. CRC Reef Research Centre. Australia.
Dahuri, R, R Jacub, P.G
Sapta, dan M. J . Sitepu. 2001. Pengelolaan
Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Terpadu. PT
Pradnya Paramita, Jakarta.
Den Hartog, 1970. The
Seagrasses of The World. North
Holland Publishing Co., Amsterdam.
Den Hartog 1977. Structure, Function and Clasification in Seagrasess Communities. Marcell Dekker. New York .
Erftemeijer
P I. A and Middelburg. J.J. 1993. Sediment-nutrient
Interactions in Tropical Seagrass Beds: a Comparison Between a Terrigenous and
a Carbonate Sedimentary Environment in South Sulawesi (Indonesia). Marine Ecology Progress Series, Vol,102: 187-198. Netherlands Institute of Ecology, Centre for Estuarine and Coastal
Ecology. Netherland.
Faiqoh, E.
2006. Laju Pertumbuhan dan Produksi Daun
Enhalus acoroides (L.f) Royle di
Pulau Burung, Kepulauan Seribu, Jakarta. Skripsi. Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan. IPB. Bogor.
Hamid, A.
1996. Peranan Faktor Lingkungan Perairan
Terhadap Pertumbuhan Enhalus acoroides
(L.f) Royle di Teluk Grenyang-Bojongara Kabupaten Serang, Jawa Barat.
Tesis. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor.
Hendra. 2011. Pertumbuhan dan Produksi Biomassa Daun Lamun Halophila ovalis, Syringodium isoetifoliumdan Halodule uninervis Pada Ekosistem Padang Lamun di Perairan Pulau
Barrang Lompo. Skripsi. Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan Universitas Hasanuddin. Makassar.
Hutomo, M., 1999. Proses peningkatan Nutrient Mempengaruhi Kelangsungan Hidup Lamun. (Online). http://www.coremap.or.id/berita/article.php?id=160. (diakses pada hari Senin 09 Oktober
2012).
Irwanto, N. 2010. Laju Pertumbuhan dan Tingkat Kelangsungan Hidup Enhalus acoroides Yang Ditransplantasi Dengan Metode Plug Di Pulau
Barrang Lompo. Skripsi. Jurusan Ilmu Kelautan. Universitas Hasanuddin.
Makassar.
Kiswara W, 1995. Kandungan Hara dalam Air Antara dan Air Permukaan Padang Lamun Pulau
Barrang Lompo dan Gusung Talang, Sulawesi Selatan. Balitbang, Biologi, Pustlitbang
Oseanologi, LIPI. Jakarta Timur.
Kiswara, W and M. Hutomo,. 1985. Habitat dan Sebaran Geografik Lamun.
Oseana, Volume X, Nomor 1: 21-30. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Lanuru M. 2011. Bottom Sediment Characteristics Affecting the Success of Seagrass (Enhalus acoroides) Transplantation in
the Westcoast of South Sulawesi (Indonesia). Department of Marine Science.
Hasanuddin University, Makassar
Marion
S.R and Orth R.J. 2010. Factors Influencing Seedling
Establishment Rates in Zostera marina
and Their Implications for Seagrass Restoration. Restoration
Ecology. Vol. 18, No. 4, pp.
549–559
McRoy, C.P.,
Barsdate, R.J., Nebert, M. 1972. Phosphorus
cycling in an eelgrass (Z. marina L.) ecosystem.Limnol. Oceanogr. 17,
58–67.
Muchtar, M. 1999. Zat hara dan kondisi fisik Teluk Kuta, Lombok. Indonesia. Jakarta:
Puslitbang Oseanologi LIPI.
Nybakken JW. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis.
Penerbit PT. Gramedia Jakarta.
Parada, M., 2002. Kepadatan dan Produksi Lamun Enhalus
acoroides dan Thalassia hemprichii. Skripsi. Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan Universitas Hasanuddin. Makassar.
Supriadi, D.
Soedharma, dan R.F. Kaswadji., 2006. Beberapa
Aspek Pertumbuhan Lamun E. acoroides. (Linn. F) Royle di Pulau Barrang Lompo. Makassar.
Tangke, U. 2010. Ekosistem Padang Lamun (Manfaat dan Fungsi
Rehabilitasi). Faperta UMMU.
Ternate
Thorhaug, A. 1974. Transplantation of the seagrass Thalassia testudinum Konig. Aquaculture 4
(2): 177-183).
Tomascik, T., A.J. Mah,
A. Nontji, dan M.K. Moosa. 1997. The
Ecology of The Indonesian Seas. Part
Two. The Ecology of Indonesia Series.
Volume VIII. Periplus Edition (HK), Ltd, Singapore.
Tri PH. 2008. Rehabilitation and Conservation The Seagrass
Meadows At Cam Hai Dong, Cam Ranh Bay, Khanh Hoa Province, Central Vietnam.
Institute of Oceanography Nhatrang,Vietnam
lengkap dan rapi sekali kak nice
BalasHapuspolitik