Sabtu, 16 Maret 2013

JENIS MAKROZOOBENTOS YANG BERASOSIASI DENGAN EKOSISTEM MANGROVE

IDENTIFIKASI JENIS MAKROZOOBENTOS YANG BERASOSIASI DENGAN EKOSISTEM MANGROVE DI DESA BOTTO, KECAMATAN TAKKALALLA, KABUPATEN WAJO

 

 Laporan Praktik Kerja Mandiri







  
STEVEN
L111 09 265
ILMU KELAUTAN




UNIVERSITAS HASANUDDIN
KULIAH KERJA NYATA PROFESI (KKNP)
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
2012

Adaptasi Mangrove


ADAPTASI TUMBUHAN MANGROVE

A.    Latar belakang
Kawasan pesisir merupakan kawasan peralihan antara laut dan daratan, dimana batasan kawasan pesisir secara umum yaitu kearah laut masih  dipengaruhi dampak daratan dan kearah darat masih dipengaruhi atau terkena dampak laut.
Salah satu kawasan yang terletak di dareah pesisir adalah hutan mangrove. Oleh karena kawasan hutan mangrove secara rutin digenangi oleh pasang air laut, maka  lingkungan (tanah dan air) hutan mangrove bersifat salin dan tanahnya jenuh air.  Vegetasi yang hidup di lingkungan salin, baik lingkungan tersebut kering maupun basah, disebut dengan halopita (halophytic). vegetasi mangrove, juga  mengalami tekanann oksigen yang sedikit (low oxygen pressure strees), hal ini   dialami akar tumbuhan mangrovei karena tanahnya secara periodik digenangi oleh pasang air laut. Selain itu tingkat salinitas yang fluktuatif juga mempengaruhi metabolisme dari tumbuhan mangrove. Oleh karena itu tumbuhan mangrove melakukan berbagai adaptasi untuk mempertahankan hidupnya.
B.     Tujuan Penulisan
Pembuatan  makalah ini bertujuan untuk mengetahui lebih lanjut mengenai teori-teori yang berkaitan dengan adaptasi tumbuhan mangrove untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.

ADAPTASI MANGROVE
1.     Adaptasi Anatomi Mangrove
Vegetasi mangrove memiliki adaptasi anatomi dalam merespon berbagai kondisi ekstrim tempat tumbuhnya, seperti (1) adanya kelenjar garam pada golongan secreter, dan kulit yang mengelupas pada golongan non-secreter sebagai tanggapan terhadap lingkungan yang salin,  (2) sistem perakaran yang khas, dan lentisel sebagai tanggapan terhadap tanah yang jenuh air, (3)  struktur dan posisi daun yang khas sebagai tanggapan terhadap radiasi sinar matahari dan suhu yang tinggi.
Beberapa jenis tumbuhan mangrove toleran terhadap konsentrasi garam dijaringannya dan garam ini dikeluarkan  melalui kelenjar-kelenjar khusus yang terdapat pada daunnya.   Tumbuhan mangrove terbagi atas dua golongan, yaitu
 (a)  secreter, yakni jenisjenis mangrove yang memiliki struktur kelenjar garam (salt gland)  seperti Avicennia spp.,  Aegiceras spp., dan  Aegialitis spp.
 (b)  non-secreter, yaitu jenis-jenis mangrove yang tidak memiliki struktur kelenjar garam seperti Rhizophora spp., Bruguiera spp., Lumnitzera spp., dan Sonneratia spp.  Lebih lanjut Shannon  et al., (1994) menyatakan bahwa pada umumnya adaptasi terhadap salinitas tergolong rumit yang merupakan formasi dari struktur kelenjar garam yang terdapat pada daun  atau permukaan epidermis batang.

Adaptasi tumbuhan mangrove secara anatomi terhadap keadaan tanah dan kekurangan oksigen adalah melalui sistem perakaran yang khas dan lentisel pada akar nafas, batang dan organ lainnya.  
Ada tiga bentuk sistem perakaran pada  tumbuhan mangrove,
yaitu
(a) akar lutut (knee roots), contohnya pada Bruguiera spp., yang memberikan kesempatan bagi oksigen masuk ke sistem perakaran,
(b) akar nafas (pneumatophore roots), contohnya pada  Sonneratia  spp., dan Avicennia  spp. yang muncul dipermukaan
tanah untuk aerasi,
(c) akar tunjang (stilt roots), contohnya pada Rhizophora spp. yang berbentuk seperti jangkar, berguna untuk menopang pohon.
            Pada dasarnya sistem perakaran  tumbuhan mangrove terdiri dari tiga komponen, yaitu
 (a) komponen aerasi, yaitu bagian akar yang mencuat ke bagian atas dari sistem perakaran dan berfungsi sebagai pertukaran gas,
(b) komponen penyerapan dan penjangkaran, befungsi  untuk membentuk basis penjangkaran pada seluruh sistem dan untuk melakukan penyerapan zat hara
(c) komponen jaringan, yaitu bagian horizontal yang meluas dan berfungsi menyatu dengan penyerapan dan penjangkaran dari sistem perakaran
Selain bentuk akar yang khas dan adanya lentisel di berbagai organ tumbuhan mangrove, kekurangan oksigen  juga dapat diatasi dengan adanya lubang-lubang dalam tanah yang dibuat oleh hewan-hewan, misalnya kepiting.  Lubang-lubang ini membawa oksigen ke bagian akar tumbuhan mangrove.  Kondisi ini terjadi saat  air laut surut, sehingga lantai hutan mangrove saat air laut surut tersebut tidak tergenang air secara keseluruhan. Hampir semua jenis mangrove, daun-daunnya mempunyai sejumlah
kenampakan anatomi yang membatasi hilangnya uap air.  Hal ini mencakup kutikula yang tebal, lapisan lilin, dan stomata yang tersembunyi, yang semuanya terdapat hanya pada permukaan abaksial dari beberapa jenis, seperti  Sonneratia spp.,  Osbornia  spp.
Adaptasi Fisiologi Mangrove
Mangrove sebagai kelompok khusus dari halofita mempunyai kapasitas menahan air yang tinggi dari substrat  yang bergaram.  Mangrove juga dapat mempertahankan keseimbangan air yang  baik karena adanya mekanisme pengaturan yang beragam, seperti perilaku stomata, penyesuaian osmotik, tingkat kesekulenan, dan pengeluaran garam. menyatakan bahwa pada umumnya transpirasi jenis-jenis mangrove adalah rendah, sedangkan akarnya terus-menerus mengabsorbsi air garam.  Hal ini menyebabkan terjadinya akumulasi garam pada daun.  Untuk mengatasi hal ini beberapa jenis mangrove mempunyai kelenjar pengeluaran garam (excretion gland) pada daunnya, sedangkan bagi jenis mangrove yang tidak memiliki kelenjar pengeluaran garam dilakukan dengan cara mengalirkan garam tersebut ke daun-daun muda yang baru terbentuk.
            Secara umum, konsentrasi  ion-ion anorganik yang tinggi diperlukan oleh halofita di dalam mengatur potensi osmotik antar sel, agar lebih rendah dari potensi air dalam tanah.  Hal ini merupakan kebutuhan minimum untuk mengatur keseimbangan air positif.   Penemuan ini didukung oleh hasil lapangan dan laboratorium yang menjelaskan bahwa potensi osmotik pada
jaringan mangrove umumnya antara 0,5 –  2,0 Mpa lebih rendah dari substrat tempat tumbuhnya.






























KESIMPULAN
Vegetasi mangrove yang merupakan tumbuhan resisten terhadap garam (salt-resistant plants) mampu memelihara pertumbuhannya dalam kondisi cekaman osmotik, seiring dengan menghindari konsentrasi garam yang tinggi di dalam sitoplasmanya.  Pertumbuhan terutama dipelihara dengan meningkatkan jumlah larutan di dalam sel dan berikutnya dengan pengaturan turgor.  Mekanisme ini dapat meningkat dengan peningkatan  plastisitas dinding sel dan penurunan ambang turgor.  Penurunan turgor diatur  oleh “sensor turgor” di dalam plasma membran.  Mekanisme penting dalam pengaturan keseimbangan garam pada mangrove, sehingga tidak lagi meracuni tumbuhan, meliputi: (a) kapasitas akar untuk melawan NaCl yang berbeda, (b) pemilihan kelenjar-kelenjar khas sekresi garam dari beberapa jenis pada daunnya, (c) akumulasi garam pada berbagai bagian tumbuhan, dan (d) hilangnya garam ketika daun dan bagian tumbuhan lainnya gugur. Tanah yang jenuh air, sehingga tanah mengandung sedikit oksigen direspon tumbuhan mangrove dengan memiliki sistem perakaran yang khas dan lentisel pada bagian di atas permukaan substrat sehingga memungkinkan penyerapan oksigen dari udara.  Selain itu, keberadaan lubang-lubang tanah yang dibuat oleh satwa tanah, seperti kepiting, juga membantu penyediaan oksigen bagi akar.  Oleh karena itu, respirasi dapat berjalan dengan baik. Daun vegetasi mangrove yang memiliki kutikula yang tebal, lapisan lilin, dan stomata yang tersembunyi serta pengaturan posisi daun, sehingga radiasi sinarmatahari terseleksi sepanjang permukaan  fotosintetik luas, sementara pemasukan panas per unit luas daun dan suhu menjadi berkurang.  Hal ini merupakan adaptasi anatomi yang unik dari daun mangrove dalam mengatasi cekaman radiasi sinar matahari dan suhu yang tinggi.















DAFTAR PUSTAKA
Bengen, D.G. 2000. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.

Bintoro, M.H. 1989.  Toleransi tanaman jagung terhadap salinitas.  Disertasi, Pascasarjana IPB, Bogor.

Dahuri R., J. Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu, 2004. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradya Paramita.  Jakarta.

Istomo. 1992.  Tinjauan ekologi hutan mangrove dan pemanfaatannya di Indonesia. Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.

Kritijono, A. 1977.  Pengaruh keadaan tempat tumbuh pada perkecambahan Bruguiera gymnorrhiza (tanjang) di hutan payau Segara Anakan Cilacap, KPH Banyumas Barat.  Fakultas Kehutana  IPB, Bogor.

Nybakken, J. W., 1992. Biologi Suatu Pendekatan Ekologi.Gramedia. Jakarta
Prawiranata, W., S. Harran, dan P. Tjondronegoro.  1995.  Dasar-dasar fisiologi tumbuhan.  FMIPA-IPB, Bogor.

Soepardi, G.  1983.  Sifat dan ciri tanah.  Fakultas Pertanian – IPB, Bogor.

Sukardjo, S. 1996.  Fisiologi mangrove suatu catatan pengetahuan. Pelatihan pelestarian dan pengembangan ekosistem mangrove secara terpadu dan berkelanjutan. PSL-PPLH Unibraw, Malang.

Tanasale, M.F.J.D.P.  1997.  Desalinasi dengan tanaman mangrove. Jurusan Kimia, FMIPA, IPB Bogor.



tata cara perdagangan biota laut langka


Tugas Makalah
Pembenihan Dan Penangkaran Biota Laut


 

TATA CARA PERDAGANGAN BIOTA
LAUT LANGKA
 



UNHAS











OLEH:

STEVEN (L111 09 265)



JURUSAN ILMU KELAUTAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2012
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km dari luas laut sekitar 3,1 juta km2  (0,3 juta km2 perairan territorial dari 2,8 juta km2 perairan nusantara) atau 62% dari luas territorial. Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan  kekayaan dan keanekaragaman dan sumber daya alamnya baik sumberdaya yang dapat pulih (seperti perikanan, hutan mangrove dan terumbu karang ) maupun sumberdaya yang tidak dapat pulih (seperti minyak bumi dan gas serta mineral atau bahan tambang lainnya). Hal tersebut menunjukkan bahwa di sekitar kelautan mempunyai potensi yang sangat besar dalam bangunan di masa depan (Dahuri,2001). Kondisi ini merupakan habitat  yang sesuai bagi penyu untuk singgah dan bereproduksi di pantai kepulauan Indonesia.
Secara formal, pemerintah Indonesia telah berusaha melindungi biota-biota langka dari kepunahan dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Dalam peraturan pemerintah tersebut ditetapkan semua Biota langka yang mendekati kepunahan dilindungi. Beberapa tempat juga telah ditetapkan sebagaikawasan perlindungan untuk biota langka di Indonesia di antaranya, Taman Nasional Meru Betiri, Taman Nasional Alas Purwo, Suaka Margasatwa Jamursba Medi Irian Jaya dan lain-lain. 
Perdagangan jenis biota laut yang langka tersebut masuk pelanggaran yang susah dideteksi. Pasalnya dari beberapa yang tertangkap seperti di Bandara atau pelabuhan umumnya biota itu dicampur dengan barang lain seperti kain dan baju. Demikian juga perdagangan di kios/ art shop, kebanyakan mereka memajang biota laut yang tidak dilindungi, padahal mereka juga menjual biota laut yang dilindungi namun disimpan ditempat terpisah. Oleh karena itu jika hal ini terus berlangsung dikuatirkan keberadaan biota-biota laut menjadi langka dan bahkan akan punah. Dengan demikian kebijakan perlindungan spesies biota laut langka ini perlu di pertegaskan sehingga masyakat tidak semena-mena mengekploitasi secara berlebihan yang mengakibatkan biota laut akan punah.
Berdasarkan hal tersebut diatas, selain mempertegas kebijakan-kebijakan perlindungan biota laut yang langka maka perlu juga dilakukan pembenihan dan penangkaran biota laut untuk tujuan konservasi laut.
B.   Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan penulisan makalah ini yakni:
Ø  Sebagai salah satu prasyarat untuk melulusi Mata Kuliah Pembenihan dan Penangkaran Biota Laut
Ø  Mengetahui berbagai peraturan serta kebijakan untuk perlindungan biota laut langka












KATEGORI SPESIES LANGKA
            Menurut Fandeli, (1995) mengatakan bahwa ada 4 kategori spesies itu dikatakan langka yakni:
1.    Organisme yang mendekati kepunahan (endangered)
2.    Organisme yang populasinya jarang atau terbatas dan dapat menjadi punah (restricted/rare)
3.    Organisme yang mengalami penurunan pesat dari populasi di alam (depleted/vulnerable)
4.    Organisme yang belum ditetapkan kelangkaannya karena kekurangan data (undeterminate)
            Spesies mengalami kepunahan secara alami sejak ratusan juta tahun yang lalu, tapi laju kepunahan sepanjang 150 tahun belakangan ini jauh lebih tinggi dari laju kepunahan rata-rata pada skala evolusi planet Bumi. Punahnya spesies berarti berkurangnya kekayaan alam sebagai entitas biologi, terganggunya kestabilan ekosistem dan terancamnya spesies lain, utamanya jika spesies yang punah adalah spesies kunci pada salah satu rantai makanan.
            Kepunahan spesies bisa disebabkan oleh faktor-faktor alami seperti daya regenerasi yang rendah, bencana alam besar, dan desakan populasi lain yang lebih kuat dan bersifat predator.  Namun kepunahan spesies pada 2 abad terakhir lebih banyak disebabkan oleh campur tangan manusia yang mengatasnamakan pembangunan ekonomi.  Ekonom terkenal Pearce dan Turner (1990) menjelaskan bahwa kepunahan species disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu pemanenan dilakukan dengan biaya yang sangat rendah, discount rate dari perburuan dan penangkapan species sangat tinggi, dan tidak adanya kepemilikan (common property) dan kondisi akses terbuka (open access).
            Kondisi kepemilikan yang bersifat common property dibarengi dengan rezim open access merupakan karakteristik utama sumberdaya laut, dengan pengertian bahwa orang bisa mengeksploitasi sumberdaya laut tanpa bisa merintangi orang lain untuk melakukan hal yang sama.  Implikasi dari karakteristik ini adalah orang akan mengambil sumberdaya laut sebanyak-sebanyaknya dan secepat-cepatnya sebelum orang lain melakukannya, sehingga kekayaaan sumberdaya laut akan terkuras secara signifikan dalam waktu yang relatif singkat.  Kondisi ini yang sering disebut sebagai tragedy of the common.
Badan Dunia Yang Menangani Masalah Biota Langka
            Untuk meredam laju kepunahan spesies di muka bumi ini, negara-negara di dunia bersepakat menetapkan status konservasi bagi spesies-spesies yang terancam punah.  Status konservasi yang sering menjadi rujukan adalah IUCN Red List dan CITES.  IUCN Red List adalah daftar status konservasi spesies yang dikeluarkan oleh organisasi IUCN (the International Union for Conservation of Nature), yang terdiri dari Least Concern (beresiko rendah), near threatened (hampir terancam), vulnerable (rentan), endangered (terancam punah), critically endangered (kritis), extinct in the wild (punah di alam liar), dan extinct (punah).
            Sementara CITES (Convention on international trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) menetapkan 3 kategori spesies yang dikenal dengan istilah Appendiks, yaitu Appendiks I berisi daftar seluruh spesies tumbuhan dan satwa liar yang dilarang dalam segala bentuk perdagangan internasional, Appendiks II berisi daftar spesies yang tidak terancam kepunahan, tapi mungkin terancam punah bila perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan, dan Appendiks III berisi daftar spesies tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi di negara tertentu dalam batas-batas kawasan habitatnya, dan suatu saat peringkatnya bisa dinaikkan ke dalam Apendiks II atau Apendiks I.
Regulasi Nasional
            Undang Undang No 45 tahun 2009 tentang Perikanan mengamanatkan kepada Menteri Kelautan & Perikanan untuk menetapkan jenis ikan yang dilindungi. Definisi ikan yang dilindungi menurut penjelasan Peraturan Pemerintah No 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan adalah jenis ikan yang dilindungi berdasarkan peraturan perundang-undangan, termasuk jenis ikan yang dilindungi secara terbatas berdasarkan ukuran tertentu, wilayah sebaran tertentu atau periode waktu tertentu, dilindungi berdasarkan peraturan perundang-undangan dan juga dilindungi berdasarkan ketentuan hukum internasional yang diratifikasi (seperti Appendiks I,II dan III CITES).
            Penetapan status perlindungan jenis ikan bertujuan untuk menjaga dan menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan jenis ikan dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Kriteria jenis ikan yang dilindungi menurut PP 60/2007 meliputi terancam punah, langka, daerah penyebaran terbatas (endemik), terjadinya penurunan jumlah populasi ikan di alam secara drastis, dan/atau tingkat kemampuan reproduksi yang rendah.
            Selanjutnya Menteri Kelautan Dan Perikanan mengeluarkan Peraturan Menteri No 3 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penetapan Status Perlindungan Jenis Ikan.  Menurut Permen ini, prosedur penetapan jenis ikan dilindungi dimulai dari usulan inisiatif yang dapat diajukan oleh orang perseorangan, kelompok masyarakat, lembaga penelitian, lembaga pendidikan, lembaga pemerintah, dan lembaga swadaya masyarakat. Atas usulan inisiatif tersebut, Direktur Jenderal KP3K kemudian melakukan verifikasi dan analisis kebijakan.  Jika hasil analisis kebijakan Dirjen KP3K menyimpulkan bahwa suatu jenis ikan dianggap layak untuk dilindungi, maka Menteri Kelautan & Perikanan mengajukan permohonan rekomendasi ilmiah kepada otoritas Keilmuan, dalam hal ini LIPI.  Hasil rekomendasi LIPI yang selanjutnya dijadikan pertimbangan Menteri dalam menetapkan jenis ikan yang dilindungi, baik dalam bentuk status perlindungan penuh maupun perlindungan terbatas.
            Jika populasi jenis ikan yang dilindungi mencapai tingkat pertumbuhan tertentu, sehingga tidak lagi memenuhi kriteria jenis ikan yang dilindungi, maka Menteri dapat mengubah status perlindungan tersebut melalui prosedur diatas dengan memberlakukan mutatis mutandis.













PENUTUP
            Perdagangan jenis biota laut yang langka tersebut masuk pelanggaran yang susah dideteksi. Dengan demikian, kebijakan perlindungan spesies biota laut langka ini perlu di pertegaskan sehingga masyakat tidak semena-mena mengekploitasi secara berlebihan yang mengakibatkan biota laut akan punah. Artinya peraturan yang sudah ada perlu diperketat lagi penjagaanya.
            Badan Dunia Yang Menangani Masalah Biota Langka yaitu pertama: CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna). Dimana Indonesia sudah menandatangani CITES dan telah diratifikasi berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No ; 43 tgl 15 Desember 1978. Dan yang badan yang kedua yaitu: IUCN (International for Conservation of Nature and Natural Resources) atau Badan Perlindungan Alam Sedunia. Badan ini mempunyai komisi khusus mengenai jenis flora dan fauna yang terancam punah, dan secara berkala mengeluarkan daftar-daftar kelangkaan flora dan fauna di seluruh dunia.











DAFTAR PUSTAKA

Caribbean Conservation Corporation, 1996,  Sea Turtles: Species Information – Scientific Clasification, Gainesville, http://www.cccturtle.org/species_class.htm

Megawanto R. 2011. Kebijakan Perlindungan Spesies Laut. (Online). http://www.yklindonesia.org/. [di akses pada tanggal 22 Februari 2012, pukul 17.30 wita]

Pramudianto A, SH. 2009. Perjanjian Internasional Di Bidang Lingkungan Laut Yang Telah Diratifikasi Indonesia. (Online). http://staff.blog.ui.ac.id/andreas.pramudianto/2009/04/30/perjanjian-internasional-di-bidang-lingkungan-laut-yang-telah-diratifikasi-indonesia/. [di akses pada tanggal 22 Februari 2012, pukul 17.30 wita]

 

 

 








burung bangau ORDO CICONIIFORMES


Makalah  Vertebrata Laut

 

ORDO CICONIIFORMES
 


LOGO UNHAS.jpg







Oleh:
KELOMPOK V:
STEVEN
JUMNIATY S
AZMI UTAMI PUTRI
SRY SWARNY ABU BAKAR
KATARINA HESTI ROMBE
FRANS HABRIANTO
RIZKI ALFIRA

JURUSAN ILMU KELAUTAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2011

PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
AVES adalah sebuah kelas yang terdapat dalam vertebrata (bertulang belakang)yang mencakup hewan-hewan unggas yang ditandai oleh adnya bulu dan adaptasi terbang lainnya. Kelas aves ini diduga berawal dari reptile terbang.kelas aves berevolusi selama radiasi reptilia yang sangat hebat pada masa mesozoikum. Fosil burung purba tertua yang ditemukan adalah Archaeopteryx lithograpica. Fosil ini ditemukan dijerman, yang berusia 150 juta tahun, termasuk kedalam masa jura.
Burung memiliki keunikan tersendiri-sendiri, dimana burung di bumi in terdiri dari berbagai spesies dana berbagai ordo. Salah satunya yaitu ordo ciconiiformes.
Ordo ciconiiformes merupakan kelompok burung yeng memiliki karakteristik tersendiri. Dimana memiliki bentuk leher yang panjang dan paruh yang besar dan panjang.
B.   Tujuan penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan kita tentang bentuk bentu dari burung khususnya pada ordo Ciconiiformes.









BURUNG
(ORDO CICONIIFORMES)

            Burung merupakan kelompok hewan yang tidak bertulang belakang yang dapat terbang di udara. Burung pada umunya memiliki ciri:
a)    Suhu tubuh tidak di pengaruhi oleh perubahan suhu disebut juga homolotermis.
b)    Mempunyai sepasang sayap.
c)    Alat penglihatan,pendengaran,dan alat suara rendah lebih sempurna dari pada kelas sebelumnya.
d)    Mempunyai kemampuan melindungi anak-anaknya dan tubuhnya.
e)    Bernapas dengan paru-paru dan pundi-pundi hawa.
f)     Badannya berbulU
g)    Mulut tidak bergigi
h)    Peredaran darah tertutup dan berganda
i)      Berkembang biak dengan bertelur (ovipar).
j)      Tulangnya tipis dan berlubang.
k)    Pada sebagian besar spesies, anggota gerak atas berfunfsi untuk terbang.
l)      Kulit kakinya diselubungi semacam sisik yang disebut tasometatarsus.
m)  Memiliki kantong udara untuk membantu pernapasan pada saat terbang.
Burung (aves) memiliki ciri khusus antara lain tubuhnya terbungkus bulu, memiliki dua pasang anggota alat gerak, anggota anterior mengalami modifikasi sebagai sayap, sedangkan sepasang anggota posterior disesuaikan untuk hinggap dan berenang, masing – masing kaki berjari 4 buah ; cakar terbungkus oleh kulit yang menanduk dan bersisik. Mulutnya memiliki bagian yang terproyeksi sebagai paruh atau sudu yang terbungkus oleh lapisan zat tanduk. Burung masa kini tidak memiliki gigi. Tungkai memiliki 4 jari atau kurang, tarsometatarsus tertutup oleh kulit yang mengalami penandukan dan pada umumnya berbentuk sisik. Ekor mempunyai fungsi yang khusus dalam menjaga keseimbangan dan mengatur kendali saat terbang ( jasin, 1992). Paruh merupakan modifikasi bibir, kulit luar yang mengeras dan membentuk sarung zat tanduk  dan membungkus tonjolan tulang pada rahang ( Peterson, 1986). Secara skematis morfologi burung adalah seperti gambar sbb:
ORDO CICONIIFORMES
A.   Ciri Morfologi:
Mencakup burung-burung air dengan ciri-ciri sebagai berikut:
·         Leher dan tungkai panjang.
·         Paruh besar lurus atau berombak tajam.
·         Jari-jari tanpa selaput.
·         Bulu-bulu dekoratif.
·         Burung yang baru menetas tidak berbulu.
·         Makanannya ikan, atau hewan-hewan air yang lainnya.
Bentuk Paruh dan Kaki
·         Paruh
Memiliki paruh panjang dan besar. Bentuk tersebut memudahkannya untuk mencari ikan di rawa-rawa atau daerah lumpur.
·         Kaki
Memiliki bentuk kaki yang panjang dan sedikit berse;aput, sehingga memudahkan berjalan diatas lumpur untuk mencari makanan.
B.   ANATOMI
Sisitem pencernaan:
Pada umumnya sistem pencernaan pada ordo Ciconiiformes ini sama seperti sistem pencernaan makanan pada umumnya yaitu:
Pada mulut terdapat paruh yang sangat kuat dan berfungsi untuk mengambil makanan.Makanan yang diambil oleh paruh kemudian masuk kedalam rongga mulut lalu menuju kerongkongan.Bagian bawah kerongkongan membesar berupa kantong yang disebut tembolok.Kemudian masuk ke lambung kelenjar .Disebut lambung kelenjar karena dindingnya mengandung kelenjar yang menghasilkan getah lambung yang berfungsi untuk mencerna makan secara kimiawi.Kemudian makan masuk menuju lambung pengunyah.Disebut lambung pengunyah karena dindingnya mengandung otot-otot kuat yang berguna untuk menghancurkan makanan.Didalam hati,empedal sering terdapat batu kecil atau pasir untuk membantu mencerna makanan secara mekanis. Kemudian,makanan masuk menuju usus halus.Enzim yang dihasilkan oleh pankreas dan empedu dialirkan kedalam usus halus.Hasil pencernaan berupa sari- sari makanan diserap oleh kapiler darah pada dinding usus halus.Burung mem-punyai dua usus buntu yang terletak antara lambung dan usus.Usus buntu berguna untuk memperluas daerah penyerapan sari makanan. Sisa makanan didorong ke usus besar kemudian kedalam poros usus (rektum) dan akhirnya dikeluarkan melalui kloaka.
Mulut / paruh → Kerongkongan → Tembolok → Lambung kelenjar →Lambung pengunyah → Hati → Pankreas → Usus halus → Usus besar →Usus buntu → Poros usus (rectum) →Kloaka.
C.   KLASIFIKASI
Menurut Andrew (1992), klasifikasi  dari ordo Ciconiiformes yaitu:
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Class : Aves
Ordo : Ciconiiformes
Family: Ardeidae
         Balaenicipitidae
         Scopidae
         Ciconiidae
         Threskiornithidae
         Cathartidae

D.   HABITAT DAN MAKANAN
umumnya hidup didarat dan sebagian besar di wilayah hangat. Biasanya kebanyakan terdapat di bagian tanah berlumpur juga pada periran yang sangat dangkal. Makanannya berupa katak, ikan, serangga dan cacing.
Bentuk cara makan yakni seperti pada gambar berikut:
                                         
                                                                 



E.    REPRODUKSI
Reproduksi merupakan salah satu kemampuan suatu hewan yang sangat penting, karena tanpa kemampuan tersebut maka suatu jenis hewan akan punah.
Reproduksi burung dari Ordo Ciconiiformes umumnya sama dengan reproduksi burung pada umumnya yakni secara seksual dan bersifat ovipar (bertelur).
F.    BENTUK PERILAKU BURUNG
Pada umumnya bentuk perilaku burung dalam melakukan aktivitas (siklus hidupnya) yakni sebagai berikut:
a.    Perilaku proses reproduksi
Urutan sketsa perilaku reproduksi dari gambar tersebut adalah a. Jantan dan betina terbentuk formasi pasangan, b. Naiknya burung jantan ke punggung burung betina dengan merentangkan kedua sayapnya, c. Pendaratan burung jantan di punggung burung betina, d. Terjadi proses kopulasi, e. Turunnya burung jantan dari punggung burung betina dengan berdiri berdampingan dan diakhiri body shaking.
b.    Perilaku bersarang
                                    Urutan sketsa perilaku reproduksi dari gambar tersebut adalah a). Proses pemilihan ranting, b). Penarikan ranting (dilakukan dengan menggunakan peruh), c). Proses pemotongan ranting (dilakukan dengan menggunakan paruh), d) dan e). Burung terbang membawa ranting ke tempat yang ditentukannya, f). Proses penyusunan ranting (dilakukan dengan burung jantan dan burung betina).
c.    Perilaku mengeram
            Perilaku mengeram dilakukan langsung dengan cara kedua kaki di tekuk sehingga posisi seperti duduk dengan paruh ke bawah dan kadang-kadang dibuka.























PENUTUP
            Burung dari ordo Ciconiiformes memiliki karakteristik bentuk morfologi yakni memiliki bentuk leher yang panjang dan kaki yang panjang. Hal ini terjadi karena disesuaikan dengan adaptasi lingkungan serta makanannya. Dimana burung dari ordo ciconiiformes ini makanannya berupa ikan, katak crustacea dan lain-lain. Sedangkan habitatnya kebanyakan di bagian lumpur dimana mereka mencari makanan.
            Siklus reproduksi burung pada ordo ini memiliki bentuk reproduksi seperti burung pada umumnya yakni seksual dan bersifat ovipar (bertelur).

















DAFTAR PUSTAKA
Alikodra, H.S. 1980. Dasar-dasar Pembinaan Margasatwa. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor.
Campbell N A.2005.biologi edisi 5 jilid 2.jakarta:erlangga
http://id.wikipedia.org/wiki/Bangau
http://id.wikipedia.org/wiki/Ciconiiformes
Evietos.2009.hewan vertebrata. http://evietos.blogspot.com/2009/12/hewan‑vertebrata.html 
http://www.crayonpedia.org/wiki/index.php?title=BSE:Cara_Makhluk_Hidup_Menyesuaikan_Diri_dengan_Lingkungannya_5.1_%28BAB_2%29&redirect=no
Jasin M. 1992. Zoologi Vertebrata untuk Perguruan Tinggi. Sinar Wijaya. Surabaya.
Silvius, M. J. Dan W. J.A.Verheught, 1989. Status Bangau, Ibis dan Burung Paruh Sendok.  PHPA/AWB-Indonesia. Bogor.