I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Wilayah perairan Indonesia mempunyai
potensi berbagai jenis organism serta tumbuhan laut yang cukup besar. Sejak 30
tahun terakhir, organism laut merupakan sumber penting bahan alam (natural product) untuk di jadikan
sebagai novel substance untuk
kemudian dibuat sintesisnya atau sebagai bahan baku obat utama pembuatan obat. Bahan
alam yang di kandung oleh organism tersebut adalah senyawa bioaktif yang
memilki berbagai macam aktivitas farmakologi. Selain itu juga terdapat berbagai
tumbuhan laut yang memilki senyawa bioktif yang dapat di ekstrak misalnya alge,
lamun dan lain sebaginya.
Bahan-bahan bioaktif (Bioaktive substances) atau berbagai
macam bahan kimia yang terkandung dalam tubuh biota perairan laut merupakan
potensi yang sangat besar bagi penyediaan bahan baku industry farmasi,
kosmetika, pangan dan industry bioteknologi lainnya. Sejauh ini pemanfaatan
potensi bahan-bahan bioaktif untuk keperluan bahan baku industry terutama
bioteknologi masih sangt rendah (Dahuri, dkk 2004).
Pemanfaatan bahan-bahan bioaktif (natural products) dari biota pesisir dan
lautan, seperti omega-3, sunchlorela, dan lainnya praktis belum berkembang.
Padahal, dinegara-negara lainnya seperti Amerika serikat, Malaisya dan Jepang
industry bioteknologi yang mengelola bahan-bahan bioaktif dari laut telah
menjadi salah satu industri andalan (Dahuri, dkk 2004).
Oleh karena itu, untuk dapat
mengekstrak berbagai macam sayawa aktif pada berbagai organism dan tumbuhan
maka perlu juga dilakukan pengamatan mengenai kadar abu, kadar air serta kadar
klorofil (khususnya tumbuhan).
1.2 Tujuan
dan Kegunaan
Praktikum bahan alam laut ini
bertujuan untuk mengetahui kadar abu, kadar air dan kadar klorofil pada ganggang.
Sedangkan kegunaan dari praktikum
bahan alam laut ini yakni agar dapat mengetahiu jumlah kandungan klorofil,
kadar abu dan kadar air yang diakndung oleh ganggang sebelum diekstrak seyawa
aktif yang terdapat didalamnya.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kadar
Abu
Sebagian besar bahan makanan, yaitu sekitar
96% terdiri dari bahan organic dan air. Sisanya terdiri dari unsur- unsur
mineral. Unsur mineral juga di kenal sebagai zat organic atau kadar abu. Dalam
proses pembakaran, bahan-bahan organik terbakar tetapi zat anorganiknya tidak,
karena itulah disebut abu. Meskipun banyak dari elemen-elemen mineral telah
jelas diketahui fungsinya pada makanan ternak, belum banyak penelitian sejenis
dilakuakan pada manusia. Karena itu peranan berbagai unsur mineral bagi manusia
masih belum sepenuhnya diketahui (Winarno,1997).
Abu adalah zat anorganik sisa hasil
pembakaran suatu bahan organik. Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada
macam bahan dan cara pengabuannya. Kadar abu ada hubungannya dengan mineral
suatu bahan. Mineral yang terdapat dalam suatu bahan dapat merupakan dua macam
garam yaitu:
a.
Garam-garam
organik, misalnya garam dari as. malat, oxalate, asetat.,
pektat dan lain-lain.
b.
Garam-garam
anorganik, misalnya phospat, carbonat, chloride, sulfat nitrat dan logam
alkali.
Selain kedua garam tersebut, kadang-kadang
mineral dapat terbentuk sebagai senyawa yang kompleks yang bersifat organis.
Apabila akan ditentukan jumlah mineralnya dalam bentuk aslinya adalah sangat
sulit. Oleh karenanya biasanya dilakukan dengan menentukan sisa pembakaran
garam mineral tersebut yang dikenal dengan pengabuan. Komponen mineral dalam
suatu bahan sangat bervariasi baik macam maupun jumlahnya. Penentuan
konsistensi merupakan mineral bahan hasil pertanian yang dapat dibedakan
menjadi dua tahapan yaitu : pengebuan total (larut dan tidak larut) dan
penentuan individu komponen.
Menurut Fauzi (2006), Penentuan kadar
abu total dapat digunakan untuk berbagai tujuan antara lain:
a.
Menentukan
baik tidaknya suatu pengolahan
Dalam penggilingan gandum, misalnya
apabila masih banyak katul atau lembaga yang terikut maka tepung gandum
tersebut akan memiliki kadar abu yang tinggi
b.
Mengetahui
jenis bahan yang digunakan
Penentuan kadar abu dapat digunakan
untuk memperkirakan kandungan buah yang digunakan dalam marmalade atau jelly.
Kandungan abu juga dapat dipakai untuk menentukan atau membedakan fruit vinegar
(asli) atau sintesis
c.
Penentuan
parameter nilai gizi pada bahan makanan
Adanya kandungan abu yang tidak larut
dalam asam yang cukup tinggi menunjukkan adanya pasir atau kotoran yang lain.
Menurut Apriantono (1989), Penentuan
kadar abu dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :
1. Pengabuan
cara Langsung (Cara Kering)
Prinsip dari pengabuan cara langsung
yaitu dengan mengoksidasi semua zat organic pada suhu tinggi, yaitu sekitar 500
– 600 oC dan kemudian melakukan penimbangan zat yang tertinggal
setelah proses pembakaran tersebut
Beberapa kelemahan maupun kelebihan
yang terdapat pada pengabuan dengan cara lansung. Beberapa kelebihan dari cara
langsung, antara lain :
a. Digunakan untuk penentuan kadar abu
total bahan makanan dan bahan hasil pertanian, serta digunakan untuk sample
yang relative banyak,
b. Digunakan untuk menganalisa abu
yang larut dan tidak larut dalam air, serta abu yang tidak larut dalam asam,
dan
c. Tanpa menggunakan regensia sehingga
biaya lebih murah dan tidak menimbulkan resiko akibat penggunaan reagen yang
berbahaya.
Sedangkan kelemahan dari cara
langsung, antara lain :
1)
Membutuhkan
waktu yang lebih lama,
2)
Tanpa
penambahan regensia,
3)
Memerlukan
suhu yang relatif tinggi, dan
4)
Adanya
kemungkinan kehilangan air karena pemakaian suhu tinggi
2. Pengabuan
cara Tidak Langsung (Cara Basah)
Prinsip
dari pengabuan cara tidak langsung yaitu memberikan reagen kimia tertentu
kedalam bahan sebelum dilakukan pengabuan. Senyawa yang biasa ditambahkan
adalah gliserol alcohol ataupun pasir bebas anorganik selanjutnya dilakukan
pemanasan pada suhu tunggi. Pemanasan mengakibatkan gliserol alcohol membentuk
kerak sehingga menyebabkan terjadinya porositas bahan menjadi besar dan dapat
mempercepat oksidasi. Sedangkan pada pemanasan untuk pasir bebas dapat membuat
permukaan yang bersinggungan dengan oksigen semakin luas dan memperbesar
porositas, sehingga mempercepat proses penngabuan.
Beberapa
kelebihan dan kelemahan yang terdapat pada pengabuan cara tidak langsung.
Kelebihan dari cara tidak langsung, meliputi :
a.
Waktu yang diperlukan relatif singkat,
b.
Suhu yang digunakan relatif rendah,
c.
Resiko kehilangan air akibat suhu yang digunakan relative rendah,
d.
Dengan penambahan gliserol alkohol dapat mempercepat pengabuan,
e.
Penetuan kadar abu lebih baik.
Sedangkan
kelemahan yang terdapat pada cara tidak langsung, meliputi :
a.
Hanya dapat digunakan untuk trace elemen dan logam beracun,
b.
Memerlukan regensia yang kadangkala berbahaya, dan
c.
Memerlukan koreksi terhadap regensia yang digunakan
2.2 Kadar
Air
Kadar air adalah persentase kandungan
air suatu bahan yang dapat dinyatakan berdasarkan berat basah (wet basis) atau berdasarkan berat
kering (dry basis). Kadar air berat
basah mempunyai batas maksimum teoritis sebesar 100 %, sedangkan kadar air
berdasarkan berat kering dapat lebih dari 100 % (Syarif dan Halid, 1993).
Berat bahan kering adalah berat bahan
setelah mengalami pemanasan beberapa waktu tertentu sehingga beratnya tetap
(konstan). Pada proses pengeringan air yang terkandung dalam bahan tidak dapat
seluruhnya diuapkan. (Kusumah dkk, 1989).
Kadar air dalam bahan pangan sangat
mempengaruhi kualitas dan daya simpan dari bahan pangan tersebut. Oleh karena
itu, penentuan kadar air dari suatu bahan pangan sangat penting agar dalam
proses pengolahan maupun pendistribusian mendapat penanganan yang tepat.
Penentuan
kadar air dalam bahan pangan dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu
metode pengeringan (dengan oven biasa), metode destilasi, metode kimia, dan
metode khusus (kromatografi, nuclear
magnetic resonance / NMR).
2.3 Kadar
Klorofil-a
Klorofil
merupakan zat hijau daun dan klorofil ini sangat dibutuhkan oleh tumbuhan karena kemampuan dari organisme untuk
menghasilkan makanannya sendiri (autotrof) dengan bantuan sinar matahari dan
zat hijau daun atau klorofil yang dikandungnya.
Didalam penyerapan cahaya klorofil-a dapat mengabsorbsi
blue violet ( violet region) dalam gelombang cahaya yang lebih panjang. Faktor
lain yang berpengaruh terdapat terbentuknya mineral misalnya Fe, Mn, K, Zn, dan
N (Abidin, 1987).
Menurut
Harborne (1987), faktor faktor yang mempengaruhi terbentuknya klorofil adalah :
a)
Faktor
pembawaan
Pembentukan klorofil seperti halnya
dengan pembentukan pigmen pigmen lain pada hewan dan manusia yang dibawakan
oleh suatu gen tertentu didalam kromosom. Jika gen ini tidak ada, tanaman akan
tampak putih belaka.
b)
Cahaya
Klorofil dapat terbentuk dengan memerlukan cahaya tanaman lain yang
ditumbuhkan didalam gelap tak berhasil membentuk klorofil. Larutan klorofil
yang dihadapkan pada inar kuat tampak berkurang hijaunya.
c)
Oksigen
Okigen juga sangat berperan penting
dalam pembentukan klorofil.
d)
Karbohidrat
Karbohidrat juga sangat berperan
penting dalam pembentukan klorofil , utamanya di dalam daun daunan yang
mengalami tumbuh dan gelap. Dengan tiada pemberian gula, daun daun tersebut
tidak mampu menghasilkan klorofil.
Hutagalung,
(1997), mengatakan bahwa untuk menghitung kandungan klorofil absorbansi dari
panjang gelombang yang diukur (664, 647, dan 630 nm) dikurangi dengan
absorbansi pada panjang gelombang 750 nm. Pengurangan absorbansi pada
masing-masing panjang gelombang tersebut dengan absorbansi pada panjang
gelombang 750 nm dimaksudkan untuk mendapatkan nilai absorbansi yang dilakukan
oleh klorofil, karena pada panjang gelombang 750 nm tidak terdapat penyerapan
yang dilakukan oleh klorofil (hanya faktor kekeruhan sampel).
III.
METODE PRAKTIKUM
3.1 Prinsip
Analisis
3.1.1 Kadar
Abu
Pada proses pengabuan, zat-zat organic
diuraikan menjadi air dan CO2, tetapi bahan anorganik tidak terurai.
3.1.2 Kadar
Air
Kehilangan
bobot pada pemanasan 105oC selama 3 jam di anggap sebagai kadar air
yang terdapat dalam contoh.
3.1.3 Kadar
Klorofil-a
Klorofil merupakan zat hijau daun dan klorofil ini sangat dibutuhkan oleh
tumbuhan karena kemampuan
dari organisme untuk menghasilkan makanannya sendiri (autotrof) dengan bantuan sinar matahari dan zat hijau daun atau
klorofil yang dikandungnya.
Untuk menentukan kandungan klorofil-a
suatu perairan maka digunakan prinsip analisis yang menggunakan
Spektrofotometer
3.2 Alat
dan Bahan
Alat
yang digunakan pada Praktikum ini yakni:
tabung reaksi, gelas piala, timbangan neraca analitik, oven, cawan petrik,
cawan porselin, desikator, tanur, spatula, sentrifuger 3500 rpm,
spektrofotometer, filter holder, refrigerator.
Bahan
yang digunakan yakni: tissue roll, aluminium foil, aquades, larutan aseton 90
%, dan sampel lawi-lawi (Caulerpa
Sp.)
3.3 Prosedur
Kerja
Sebelum kegiatan praktikum
dilaksanakan, terlebih dahulu mempersiapkan peralatan dan bahan yang akan
digunakan.
A. Prosedur
Kerja Kadar Abu
Menimbang tanur kosong dengan
menggunakan timbangan neraca analitik, setelah itu dicatat beratnya. Kemudian
selanjutnya menimbang sampel lawi-lawi (Caulerpa
sp.) sebanyak 2 gram. Setelah itu sampel tersebut di masukkan kedalam tanur
yang sudah ditimbang tadi kemudian dipanaskan dengan suhu 650oC
selama 3 jam, sehingga terjadi pengabuan sempurna. Setelah terjadi pengabuan
sempurna (selama 3 jam) maka kemudian didinginkan, setelah itu baru ditimbang
untuk mengetahui berat bobot setelah terjadi pengabuan.
B. Prosedur
Kerja Kadar Air
Menimbang
cawan petrik kosong dengan menggunakan timbangan neraca analitik, setelah itu
dicatat beratnya. Kemudian selanjutnya menimbang sampel lawi-lawi (Caulerpa sp.) sebanyak 2 gram. Setelah
itu sampel tersebut di masukkan kedalam cawan petrik yang sudah ditimbang tadi
kemudian dipanaskan dengan suhu 105oC selama 2 jam, Setelah itu,
kemudian didinginkan dengan menggunakan desikator, setelah itu baru ditimbang
untuk mengetahui berat bobot kadar air setelah dipanaskan dengan suhu 105oC.
C. Prosedur
Kerja Kadar Klorofil-a
Menimbang sampel lawi-lawi (Caulerpa sp.) sebanyak 2 gram. Setelah
itu sampel tersebut di masukkan kedalam tabung reaksi, dan ditambahkan larutan
aseton sebanyak 10 ml. setelah itu, kemudian ditutup rapat dengan menngunakan
aluminium foil dan dimasukkan kedalam refrigerator (kulkas) selama 24 jam.
Setelah 24 jam, kemudian di sentrifuger (sentrifuger 3500 rpm) selama 15 menit,
dan dipisahkan antara endapan dengan cairan. Kemudian mengukur absorbansinya
pada panjang gelombang 664 nm, 647 nm dan 630 nm.
3.4 Perhitungan
3.4.1 Kadar
Abu
Kadar
abu
|
Dimana:
A = Bobot tanur kosong dengan bobot sampel sebelum pemanasan
(g).
B = Bobot tanur kosong dengan
bobot sampel setelah pemanasan (g).
3.4.2 Kadar
Air
Kadar
air
|
Dimana:
A = Bobot cawan petrik kosong sebelum pemanasan (g).
B = Bobot cawan petrik kosong
dengan bobot sampel setelah pemanasan (g).
C = Bobot sampel
3.4.3 Kadar
Klorofil-a
Klorofil (C) = 11,8 E 664 – 1,54 E
647 – 0,08 E 630
|
Maka:
Klorofil-a
(mg/L)
|
Dimana
c = hasil dari absorbansi panjang gelombang
Va=
Volume Larutan Aseton yang digunakan
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Hasil praktikum pada pengukuran kadar Abu, Kadar air dan kadar
Klorofil-a yakni:
Tabel 1. pengukuran
kadar Abu, Kadar air dan kadar Klorofil-a
Hasil*
|
|
Kadar Abu
|
6,96 %
|
Kadar Air
|
8,68 %
|
Klorofil-a
|
1,275 mg/L
|
*Perhitungan Terdapat di Lampiran
4.2
Pembahasan
4.2.1
Kadar Abu
Abu
merupakan zat anorganik dari sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Pada
proses pengabuan dengan sampel ganggang hijau dari spesies Caulerpa sp. di dapatkan hasil yakni sebesar 6,96 %. Artinya pada
proses pengabuan ini terjadi secara sempurna. Karena pada proses pengabuan ini
bahan organic telah terurai sedangkan bahan anorganiknya tidak terurai. Artinya
pada hasil 6,96 % ini terdapat bahan anorganik dan berbagai mineral lainnya.
4.2.2
Kadar Air
Kadar air dalam bahan pangan sangat
mempengaruhi kualitas dan daya simpan dari bahan pangan tersebut, Oleh karena
itu, penentuan kadar air dari suatu bahan pangan sangat penting. Penentuan
kadar air dalam bahan pangan dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu
metode pengeringan (dengan oven biasa), metode destilasi, metode kimia, dan
metode khusus (kromatografi, nuclear
magnetic resonance / NMR).
Pada
praktikum ini metode yang digunakan yakni metode pengeringan selama 3 jam.
Dimana kehilangan bobot pada saat dipanaskan dengan suhu 105 oC
selama 3 jam, artinya merupakan kadar air pada sampel. Hasil pengukuran kadar
air berat bahan basahnya yang didapatkan dari ganggang hijau pada spesies Caulerpa sp. sebesar 91,68 %, sedangkan
berat bahan kering pada Caulerpa sp.
yakni 8,68 %. Artinya berat bahan basah dan bahan kering pada Caulerpa sp. masih termasuk dalam
kondisi yang normal untuk tumbuhan. Dimana menurut Syarif dan Halid, (1993) batas normal
maksimun berat bahan basah dan bahan kering pada tumbuhan yakni
sebesar 100%.
4.2.3
Klorofil-a
Dari hasil pengukuran terhadap kandungan klorofil-a pada ganggang hijau spesies Caulerpa sp.
didapatkan adalah sebesar 1,275
mg/ml. Ditinjau dari segi kesuburan, hasil tersebut mengindikasikan
bahwa kandungan klorofil
pada Caulerpa sp. termasuk dalam
kondisi yang subur. Dimana untuk proses fotosintesis klorofil ini dapat mensisntesis
makanannya sendiri dengan baik.
V.
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Dari hasil analisis kimia pada
Caulerpa sp. maka dapat disimpulkan bahwa: pada Proses
pengabuan dilakukan dengan menggunakan tanur yang memijarkan sampel pada suhu
mencapai 650 oC sehingga hasil yang didapatkan yakni sebesar 6,96
% artinya terjadi pengabuan secara sempurna. Sedangkan pada proses kadar air
didapatkan berat bahan basah sebesar 91,68 % dan berat bahan kering yakni 8,68
%, Artinya masih dalam kategori normal untuk tumbuhan. Sedangkan untuk
klorofil- a didapatkan hasil sebesar 1,275
mg/ml, artinya
mengandung zat hijau daun yang banyak dan baik untuk proses fotosintesisnya.
5.2 Saran
Sebaiknya alat-alat yang kurang kurang
di laboratorium oseanografi kimia yang tidak ada/ kurang bagus dapat
diperbaiki, supaya praktikan maupun dosen dapat menggunakannya, serta tidak
lagi ke laboratorium yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin,
Z.1987. Dasar PengetahuanIlmu
tanaman. Angkasa. Bandung.
Apriantono,
A. dan D. Fardiaz 1989. Analisa Pangan.
Bogor : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen Pendidikan Tinggi PAU
Pangan dan Gizi IPB.
Dahuri, R, Rais, J. Ginting Putra.
S., And Sitepu. MJ., 2003. Pengelolaan
Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT Pradya Paramita.
Jakarta.
Fauzi, M.
2006. Analisa Pangan dan Hasil Pertanian.
Handout.Jember: FTP UNEJ.
Harborne, J.
B. 1987, Metode Fitokimia, ITB, Bandung.
Hatta, 2002. Hubungan
antara Klorofil-a dan Ikan Pelagis Dengan Kondisi Oseanografi di Perairan Utara
Irian Jaya. Makalah Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hutagalung, H. 1997,. Metode
Analisa air laut, sedimen dan biota, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Oseanologi, LIPI, Jakarta.
Kusumah dkk,
1989. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian.
Jember: FTP UNEJ.
Syarif dan
Halid, 1993. Kadar Air basis Basah Dan Kadar
Air Basis Kering. Yogyakarta: Penerbit Liberty.
Winarno, F.
G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
.
LAMPIRAN
Lampiran
1. Perhitungan Kadar Abu
Kadar
abu
|
Diketahui A = 17,665 g
B
= 17,816 g
Bobot sampel = 2,170 g
Jadi
Kadar
abu
|
Kadar abu
x
100 %
=
x
100 %
= 6,96
%
Lampiran
2. Perhitungan Kadar Air
Kadar
air
|
Diketahui A = 28,167 g
B
= 28,341 g
Bobot Sampel (C) =
2,004 g
Kadar
air
|
Kadar Air %
x
100 %
=
x
100 %
=
x
100 %
= 91,32 %
Jadi
% Bahan Kering yakni = 100 – 91,32
= 8,68 %
Klorofil (C) = 11,8 E 664 – 1,54 E
647 – 0,08 E 630
|
Klorofil-a
(mg/L)
|
Diketahui E 630= 0,223
E647 = 0,456
E664
= 0,771
Klorofil (C) = 11,8 E 664 – 1,54 E
647 – 0,08 E 630
|
Klorofil
(C) = 11,8 E 664 – 1,54 E 647 – 0,08 E 630
=
11,8 (0,771) – 1,54 (4,56) – 0,08 (0,223)
=
9,098 – 7,022 -0,018
=
2,58
Klorofil-a
(mg/L)
|
Klorofil-a
(mg/L)
=
=
=
1,275 mg/L
Tidak ada komentar:
Posting Komentar